Dalam sistem pengupahan di Indonesia dan kaitannya dengan hubungan industrial antara pengusaha dengan buruh dikenal sebuah ketentuan yang dikenal dengan sebutan penangguhan upah. Penangguhan upah adalah mekanisme yang terdapat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, yang memperbolehkan perusahaan tidak membayarkan upah sesuai tahun tersebut, dan membayarkan upah sesuai dengan tahun sebelumnya.
Berdasarkan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan, upah minimum termasuk upah minimum kabupaten/kota (UMK), setiap pengusaha dilarang membayar upah pekerjanya lebih rendah dari upah minimum. Akan tetapi, pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat meminta penangguhan berdasarkan Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.
“Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan.”
Adapun mengenai tata cara penangguhan upah minimum selanjutnya diatur dalam Kepmenakertrans No. KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.
Pengusaha yang tidak mampu membayar sesuai upah minimum dapat mengajukan permohonan penangguhan upah minimum kepada Gubernur melalui Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi paling lambat 10 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum. Permohonan tersebut merupakan hasil kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh, yang tercatat dalam berita acara.
PP Pengupahan dan Penangguhan Upah
Tak terkecuali pada tahun 2016 ini, dimana pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Walau PP Pengupahan tersebut didorong oleh kelompok pengusaha dengan alasan perlambatan ekonomi dan kesinambungan usaha, namun nyatanya tahun ini cukup banyak perusahaan yang melakukan penangguhan upah.
Di Jakarta pada tahun 2016 ada 2 perusahaan yang mengajukan penangguhan upah, turun dari tahun 2015 yang jumlahnya mencapai 27. Banten dari tahun 2015 sebanyak 104 perusahaan, naik menjadi 105. Jawa Barat walupun menurun, tapi angkanya masih tergolong besar. Dari 190 perusahaan ditahun 2015, menjadi 108 perusahaan di tahun 2016. Sementara Jawa Tengah yang upahnya tergolong kecil, hanya 6 perusahaan, dari tahun sebelumnya sebanyak 47. Sementara Jawa Timur naik dari 95 menjadi 98.
Datat ersebut menunjukan perbandingan penangguhan upah dari tahun 2014 sampai tahun 2016, yang diambil dari berbagai sumber. Tabel tersebut menunjukan jumlah perusahaan yang mengajukan penanguhan upah.
Menjadi ironis tentunya, jika pada tahun 2016 ini masih banyak perusahaan yang melakukan penangguhan upah. Karena sejak tahun 2016 ini, PP Pengupahan telah diberlakukan yang tujuannya dibuat adalah untuk kepentingan pengusaha, agar dapat memprediksi kenaikan upah setiap tahunnya. PP Pengupahan adalah salah satu bentuk kemudahan yang diberikan pemerintah kepada pengusaha atau pemodal untuk memastikan buruh dibayar dengan upah murah.
Disebut demikian karena upah dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi dikalikan upah minimum kabupaten/kota yang berlaku. Mengikuti nilai pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi, sehingga kenaikan upah tahun ini rata-rata adalah 11.5%. Perhitungan upah sudah tidak lagi dihitung berdasarkan komponen hidup layak (KHL), yang disurvey oleh dewan pengupahan ditiap Kabupaten/Kota.
Jika dibandingkan dengan kebutuhan dasar hidup seorang buruh, kenaikan tersebut terbilang sangatlah kecil. Untuk lebih memahaminya, mari lihat contoh dibawah ini.
Ahok menetapkan upah minimum Jakarta sebesar Rp 3,1 juta. Kenaikannya sebesar 400 ribu dari upah minimum 2015 sebesar Rp 2,7 juta.
Coba bandingkan dengan studi kasus hasil wawancara dengan seorang pekerja di Jakarta, mengenai biaya pengeluarannya. Untuk kebutuhan, seperti makan, tempat tinggal, air minum, bensin dan listrik, dia mengeluarkan biaya Rp 3,7 jutaan.
Perinciannya, makan dengan biaya Rp 75.000/hari x 30 = Rp 2.250.000, untuk tempat tinggal dia mengeluarkan biaya sebesar Rp 700.000.
Air minum menghabiskan 2 galon/bulan dengan biaya Rp 32.000, bensin per minggu menghabiskan biaya Rp 200.000 x 4 minggu = Rp 800.000, sedangkan listrik tidak dihitung karena sudah tergabung dengan tempat tinggal. Jumlahnya Rp 3.782.000. Ini baru lima komponen dasar KHL, belum komponen penunjang lainnya, seperti pulsa, cicilan, pakaian, perlengkapan mandi, dan lain-lain.
Jika seorang buruh lajang diupah berdasar upah minimum Rp 3,1 juta, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sebesar Rp 3,7 jutaan. Bagaimana dengan buruh berkeluarga? Cukupkah?
Cukup timpang jika membandingkan kenaikan upah yang dihitung berdasarkan angka pasti (pertumbuhan ekonomi + inflasi) dengan biaya pemenuhan kebutuhan dasar hidup.
Pantaskah Pengusaha Tangguhkan Upah Buruh?
Dari studi kasus diatas, muncul pertanyaan sederhana. Yaitu pantaskah pengusaha mengajukan penangguhan upah buruh?
Mengacu data yang ditampilkan diatas, jumlah perusahaan yang mengajukan penangguhan upah di provinsi Jakarta dan Jawa Barat trennya mengalami penurunan. Di Jawa Tengah mengalami penunrunan, mengingat upah di Provinsi ini jauh lebih kecil dibandingkan provinsi lain di pulau Jawa. Jawa Timur mengalami naik-turun. Terkecuali Banten yang mengalami kenaikan penangguhan upah.
Perlu diketahui bahwa data diatas hanya menggambarkan pulau jawa saja, bukan berarti menggambarkan kondisi nasional secara keseluruhan.
Walaupun dunia usaha masih dihantui melemahnya perekonomian nasional, rasanya pengusaha tidak pantas lagi menangguhkan upah buruh. Karena untuk 2016, pemerintah sudah memberikan banyak kemudahan bagi pengusaha.
Jika ditelusuri lebih dalam, paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah Jokowi-JK hanya memuat kepentingan pengusaha. Selain PP ‘Upah Murah’, pemerintah juga memberikan beberapa kemudahan untuk pengusaha dalam paket kebijakan ekonominya.
Diantaranya adalah kemudahan izin berinvestasi, penurunan biaya energi (gas, bbm dan listrik) untuk keperluan industri, pengusaha juga tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk mengangkut hasil produksi.
Penghapusan pajak ganda untuk pengusaha yang bergerak dibidang perumahan mewah, kesempatan untuk menunda pembayaran tagihan listrik sebesar 60 persen dari tahun sebelumnya, tersedianya bahan baku di kawasan berikat (jika mengharuskan impor, perizinan menjadi sederhana dan cepat), dan pengusaha mendapat kemudahan pemotongan tarif pajak penghasilan.
Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan juga masih memberikan toleransi waktu kepada perusahaan yang masih menunggak pembayaran iuran BPJS ketenagakerjaan. Dalam catatan kabarburuh.com, hingga November 2015 tercatat sudah 80.994 perusahaan yang terdaftar sebagai anggota BPJS Ketenagakerjaan menunggak pembayaran iuran.
‘Kepastian Upah Murah’ sebenarnya sudah dicanangkan sejak 2013 silam. Mengacu pada Inpres 9/2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum Dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja. Kepastian upah murah adalah upaya pemerintah untuk menyelaraskan pertumbuhan ekonomi nasional dan keberlangsungan usaha.
Lalu ketika tahun ini masih banyak penangguhan upah yang diajukan oleh perusahaan, padahal penetapan upah telah sesuai dengan keinginan pengusaha (PP Pengupahan). Maka selayaknya pengajuan penangguhan upah itu ditolak oleh Dewan Pengupahan. Karena jika disetujui, maka kembali lagi buruh yang akan menjadi korban.
Kebutuhan hidup tahun ini meningkat, namun buruh hanya diberi upah senilai tahun sebelumnya. Pengusaha yang kaya diberikan toleransi, namun buruh yang miskin dipaksa untuk menerima, atas nama kebijakan. Jika dikolaborasikan antara studi kasus dan tabel diatas, tentunya miris melihat kondisi perburuhan di Indonesia. Upah murah saja sudah buruk, semakin diperburuk pula dengan penangguhan upah.
Sumber : Kabarburuh.com
Penulis Zeki Gangga