
Jakarta, Beritapekerja.com – Hasni (31) , nelayan di kawasan Muara Angke, tak dapat pergi melaut ke kawasan Pulau G, di Jakarta Utara. Saban hari ia harus membawa kapalnya pergi ke daerah tangkapan lain yang lebih jauh.
Perahu kayu miliknya yang biasa menangkap ikan di kawasan kedalaman delapan meter ini terpaksa mencari daerah lainnya. “Di Pulau G ini, dulu banyak ikan kembung dan layur. Sejak 2015 jadi tidak bisa ke sini karena ada pembangunan proyek ini,” ujar Hasni saat berunjuk rasa di Pulau G, Minggu (17/4).
Hasil tangkapannya pun menurun drastis. Jika tiap hari dia bisa membawa 20 hingga 30 kuintal ikan, kini ia hanya bisa membawa 30 hingga 50 kilogram ikan. Dari hasil tersebut, ia bersama lima rekan kerjanya hanya bisa mengantongi Rp500 ribu. Padahal, jika sedang beruntung, ia bisa membawa Rp3 juta hingga Rp4,5 juta tiap hari.
“Itu uang sudah habis untuk solar sekitar 25 liter untuk sekali berangkat. Kalau pulang pergi habis sekitar Rp600 ribu. Itu dari jual ikan, tidak ada uang pesangon lebih untuk ABK (anak buah kapal),” katanya.
Hasni yang tiap harinya tidur di atas perahu itu kecewa dengan pemerintah DKI Jakarta yang terus mereklamasi pulau di pesisir Jakarta. “Saya tidak bisa cari nafkah,” katanya.
Hasni ingin pemerintah mendengar keluhannya dan membawa solusi untuk minimnya hasil tangkapan.
Hasni tak bernasib sendiri. Ketua Forum Kerukunan Masyarakat Nelayan Muara Angke Diding Setyawan juga mengeluhkan hal serupa.
“Sudah jelas dulu penghasilan saya setiap sekali melaut Rp2,5 juta sampai Rp4 juta sehari ya ini di zona ini (Pulau G). Saya dapat ikan kembung, ikan layur, ikan tenggiri,” kata Diding di Pulau G.
Untuk menyuarakan keluhan tersebut, Diding ikut menggerakkan nelayan untuk menyegel Pulau G menggunakan simbol gembok bertuliskan “Disegel Nelayan”. Diding meminta keseriusan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk menuntaskan kasus ini dan berdialog dengan mereka.
Diding tak percaya dengan janji Ahok untuk membuat rumah susun di pulau tersebut. Ia menganggap, para nelayan yang akan dipindah ke pulau tak bakal sanggup membeli rumah susun.
“Suruh ketemu saya kalau mereka bilang hidupnya seneng nelayan. Jangankan beli apartemen nih bayar keamanan kalau nelayan bisa kuping saya siapa yang mau potong kuping saya silahkan,” katanya.
Diding meminta pemerintah mengkaji ulang undang-undang yang dinilai masih mendukung reklamasi. Aturan tersebut, menurutnya, harus diperketat dengan mempertimbangkan beragam hal termasuk analisis dampak lingkungan dan kesejahteraan para nelayan.
“Seharusnya dari awal pemeritah pusat hentikan dong,” ucapnya.
Hingga saat ini delapan dari 17 pulau reklamasi telah melakukan proses pengurukan tanah untuk menjadi daratan. Beberapa di antaranya sudah mulai membangun infrastruktur. Sementara pulau lainnya hanya mengantongi izin prinsip atau izin lokasi pulau.
Pemerintah DKI Jakarta mengklaim telah mengantongi izin reklamasi merujuk Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 dan Perda DKI Nomor 8 Tahun 1995. Namun, aturan tersebut didebat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menilai reklamasi menjadi wewenang mereka seperti termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 2014.
Rusak Lingkungan
Diding mengaku harus mencari ikan ke lokasi lainnya. Penimbunan tanah di kawasan tersebut menjadikan air laut semakin keruh. Lumpur, minyak, dan kotoran lainnya ikut naik ke permukaan. Alhasil, sejumlah ikan pun mati.
“Jangan selalu menyalahkan nelayan, nelayan ini alat tangkapnya sangat tradisional, tidak bisa nelayan itu yang merusak lingkungan,” ucapnya.
Hal serupa diutarakan Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jakarta Mustaqim Dahlan yang memprediksi kerusakan lingkungan parah akan terjadi di masa mendatang.
“Dari 13 sungai yang mengalir kemari dan mereka tanam daratan di sini, maka air yang mengalir ke laut terhenti dan luasan banjir melebar,” kata Ketua WALHI Jakarta Mustaqim Dahlan di acara yang sama.
Kajian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia juga menunjukkan penurunan pendapatan nelayan sekitar 40 hingga 50 persen lantaran kualitas laut Jakarta makin buruk dan keruh. Ketua Dewan Pembina KNTI Chalid Muhammad menjelaskan kegiatan pembangunan di pulau-pulau reklamasi juga mengakibatkan laju arus air melambat hingga berpotensi menggenangi kampung nelayan.
Sumber : CNN Indonesia