Dalam perkembangan masyarakat Indonesia struktur kepemilikan tanah telah melewati beberapa fase perubahan yaitu : meliputi fase Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan.
Fase pertama : ketika masyarakat hidup secara komunal, berkelompok yang saling menopang hidup satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Fase kedua : berubah ke masa kerajaan di mana sang raja telah menjadi kekuatan yang sangat mutlak dan absolut dalam mengatur kehidupan masyarakat. Sang raja merupakan sumber hukum utama.
Sehingga masa ini tanah telah menjadi milik sang raja dan masyarakat hanya berhak mengelolanya dan memberikankan hasilnya kepada raja sebagai sebuah upeti.
Berikutnya fase ketiga : kedatangan pedagang-pedagang dari Eropa untuk menguasai hasil bumi dan rempah-rempah yang selanjutnya muncul monopoli perdagangan oleh VOC.
Fase ini yang kemudian memunculkan apa yang dinamakan imperialisme, kolonialiasme atau penjajahan yang membawa terampasnya tanah-tanah rakyat untuk kepentingan penjajah.
Masyarakat hanya dijadikan menjadi buruh tani dan dipekerjakan secara paksa untuk mengelola tanah-tanah yang dikuasai oleh penjajah. Hasil tanah tersebut dinikmati penjajah dan digunakan untuk memperkaya negara induk.
Peristiwa pasca Kemerdekaan 1945 menjadi sebuah peristiwa penting pada masyarat Indonesia serta masa pemerintahan Sukarno sebagai pemegang kekuasaan yang telah meletakkan dasar dan konsep Revolusi Pembangunan Semesta yaitu: Penataan kembali struktur kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah untuk kepentingan rakyat.
Hal ini telah menjadi agenda revolusi pembangunan semesta yang sangat penting dalam pembangunan pasca kemerdekaan. Ketika itu pemerintahan Sukarno telah menetapkan dan melahirkan Landreform melalui redistribusi tanah untuk rakyat seperti yang tertuang dalam UUPA 1960.
Landreform atau perubahan struktur kepemilikan hak atas tanah yang pernah di kuasai penjajah bertujuan untuk menghapus kelas-kelas tuan tanah, menghapus buruh tani dan tanah diberikan kepada mereka yang mengerjakan saja.
Program landreform ini juga sebagai upaya mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah yang selama ini dikuasai tuan-tuan tanah dan penjajah serta bertujuan untuk pemerataan pendapatan. Hal ini juga sebagai sarana menciptakan keadilan dan kesejahteraan dan sebagai prasyarat pembangunan yang berkeadilan sesuai tujuan kemerdekaan.
Selanjutnya untuk meningkatkan produktifitas dan mendorong pertanian mandiri tanpa harus mengandalkan investasi dan hutang luar negeri secara gotong-royong dilakukan pembentukan koperasi pertanian untuk mencapai kesejahteraan bersama yang dibarengi dengan hadirnya Bank Perkreditan Petani. Yang diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan agar masyarakat petani terlepas dari penghisapan ijon atau rentenir.
Ini juga merupakan basis pembangunan berdasarkan prinsip “tanah tidak boleh dijadikan sebagai alat penghisapan terhadap sesama”
Hal ini bertujuan bahwa landreform untuk mempertinggi penghasilan petani kecil atau petani penggarap sebagai prasyarat menyelenggarakan pembangunan negara menuju masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera.
Tetapi agenda ini tidak berlangsung lama karena munculnya kekuatan politik bernama Orde Baru. Dimana pembangunan tidak lagi mengagendakan landreform sebagai landasan ideologi politiknya.
Pemerintahan selanjutnya tidak lagi menempatkan Landreform menjadi agenda pembangunan yang fundamental yang menjadi urusan yang harus dilanjutkan. Fokus pemerintahan adalah industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan investasi luar negeri.
Sektor agraria ditempatkan hanya sebagai pendukung pembangunan yang bercorak industrialisasi tersebut.
Pada gilirannya terjadi adalah konflik kepentingan antara rakyat dengan investor yang hendak mengindustrialisasi tanah-tanah milik rakyat untuk kepentingan industri sehingga rakyat menjadi terpinggirkan. Situasi ini telah menghilangkan etika konstitusi dimana “kekayaan negara tidak diperuntukkan demi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Pengadaan tanah untuk kepentingan industri besar dengan intervesi pemerintah telah melahirkan konflik yang berkepanjangan dalam sejarah Orde Baru dan telah memakan korban jiwa yang sedemikian besar dan berbagai penculikan kepada masyarakat yang membutuhkan tanah untuk hidup.
Konsep pembangunan dengan mengandalkan investasi dan hutang luar negeri sebagai modal penggerak pembangunan akhirnya melahirkan kesenjangan pembangunan. Terjadi penggusuran terhadap rakyat atas nama kepentingan pembangunan.
Kebijakan Pemerintah dan investor melakukan eksploitasi terhadap tanah dan yang di bungkus dengan pembukaan lapangan kerja dan pembangunan model seperti ini akan menghilangkan lahan kehidupan masyarakat. Akhirnya akan melahirkan kemiskinan dan konflik agraria yang tak pernah usai.
Di era ini juga terjadi krisis global yang merambat ke Indonesia dimana pondasi pembangunan industrialisasi yang mengandalkan investasi yang telah dilaksanakan sangat rapuh terhadap krisis global karena telah bergantung kepada Investasi Internasional.
Krisis ekonomi yang ditandai dengan reformasi telah melahirkan protes rakyat terhadap struktur penguasaan sumber daya alam dan kepemilikan hak atas tanah atau reclaming yang yang pernah digaungkan sejak kemerdekaan kembali menjadi sebuah tuntutan. Kepemilikan hak atas tanah untuk kepentingan pembangunan industri Perkebunan, Pertambangan untuk kepentingan investor kembali digugat.
Pembaharuan struktur kepemilikan hak atas tanah (Landreform) demi pemerataan dan keadilan seperti yang tertuang pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 tahun 1960 haruslah menjadi sesuatu keniscayaan. Gugatan ini juga terjadi di wilayah Sumatera-Utara, Jawa Barat, Lampung Sulawesi, Bengkulu dan daerah lainnya menjadi sebuah tuntutan yang sesungguhnya harus di jawab oleh negara agar kekerasaan atas nama pembangunan tidak terulang kembali.
Peristiwa ini juga terjadi pada Perkebunan PTPN III Bangun yang terletak kelurahan Gurilla sampai Tanjung Pinggir di wilayah kabupaten Simalungun dan Pematangsiantar.
Pada tahun 2003 menjelang habis masa kontrak Hak Guna Usaha (HGU) PTPN III Bangun kembali digugat kelompok-kelompok masyarakat. Menuntut kembali tanah perkebunan tersebut di kembalikan kepada rakyat yang dirampas dengan memakai kekerasan dan teror ketika pemerintahan masa lalu.
Peristiwa pendudukan lahan perkebunan PTPN III Bangun yang terletak Simalungun-Pematangsiantar oleh kelompok-kelompok masyarakat telah berjalan 12 tahun silam menjadi salah satu simbol sebuah tuntutan pelaksanaan landreform di Kabupaten Simalungun dan kota Pematangsiantar.
Masyarakat menguasai lahan sampai kini tidak kunjung mendapatkan respon negara untuk sebuah legitimasi. Ketidakhadiran negara atas peristiwa tersebut dan pembiaran situasi itu akan menciptakan spekulasi dan ketidakpastian sehingga keberadaan rakyat ditengah sebuah ancaman dan tarik menarik kepentingan penguasaan kepemilikan hak atas tanah yang bernama investor.
“Kepentingan Investasi dan Industri yang kerap di bungkus atas nama pembangunan hingga kini masih menghantui masyarakat Indonesia”
Penulis : Agus Butar-Butar
ok Mantap