Oleh: Agus Butarbutar, Sekretaris DPC K.SPSI Pematangsiantar
Baru-baru ini ada dua kasus tentang tenaga kerja outsourcing mencuat ke permukaan di kota Pematangsiantar.
Pertama: pekerja sales marketing PT. Permata Indonesia yang dipekerjakan pada PT. MNC Sky Vision Pematangsiantar, beralamat di jalan Gereja,Kelurahan Martimbang, kec.Siantar Selatan bernama Aswindari Harahap (27) warga jalan Singosari, Pematangsiantar.
Kedua: kasus Andrea Tanjung warga desa Rambung Merah, kec. Kabupaten Simalungun-Sumut yang bekerja sebagai Vemale Presentre (VP) di PT.One Hundred Person Entertainment yang dipekerjakan di perusahaan rokok PT.Gudang Garam beralamat di jalan Cokroaminoto, Pematangsiantar.
Permasalahan yang dihadapi kedua pekerja ini adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak serta pelanggaran hak-hak normatif di perusahaan tempat mereka bekerja.
Perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (PPJT) tidak bertanggung jawab atas hal tersebut termasuk pengguna jasa tenaga kerja (user).
Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam sistem outsourcing, hingga mayoritas serikat pekerja (buruh) di Indonesia menolak sistem ini.
Sesungguhnya bila merujuk pada UU No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, sistem outsourcing (alih daya) ini di kenal dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (PPJTK) seperti yang diatur dalam pasal 64, 65 dan 66.
Jenis pekerjaan karyawan di perusahaan MNC Sky Vision dalam kasus Aswindari Harahap ini telah menyalahi aturan, karena pekerjaan yang dikerjakan sudah masuk dalam bisnis inti perusahaan (core business). Karenanya hal tersebut telah melanggar UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sama halnya dengan apa yang terjadi pada perusahaan Penyedia Jasa Tenaga kerja PT. One Hundred Person Entertainment (OHPE) dalam kasus Andrea Tanjung yang bekerja sebagai Vemale Presenter (VP) pada PT.Gudang Garam.
Hal ini juga telah melanggar UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebab perusahaan pemberi pekerjaan dalam memberi pekerjaan tidak sesuai dengan amanah UU.
Banyak perusahaan merekrut tenaga kerja melalui perusahaan penyedia jasa tenaga kerja sesungguhnya telah melanggar aturan hingga akhirnya menyengsarakan para pekerja.
Hal tersebut juga di tambah dengan kurangnya sosialisasi tentang outsourcing kepada para pekerja. Banyak calon pekerja masih belum paham apa yang dimaksud dengan tenaga kerja outsourcing.
Apa itu Outsourcing?
Bila merujuk pada UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja Outsourcing adalah karyawan kontrak yang dipasok dari sebuah perusahaan penyedia jasa tenaga (PJT) oleh pengguna jasa tenaga kerja (user).
Perusahaan outsourcing seharusnya menyediakan jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan misalnya : operator telepon, call centre, Satpam dan tenaga pembersih (cleaning service).
Berbeda dengan apa yang dialami oleh Aswindari Harahap dan Andrea Tanjung mereka sudah termasuk dalam bisnis inti perusahaan.
Namun saat ini penggunaan tenaga kerja Outsourcing semakin meluas hingga ke berbagai lini kegiatan. Sebab dengan menggunakan tenaga kerja outsourcing, perusahaan tidak perlu repot menyediakan fasilitas maupun tunjangan makan hingga jaminan kesehatan dan hak lainnya.
Sebab yang bertanggung jawab adalah perusahaan penyedia jasa outsourcing itu sendiri.
Namun ketika tanggung jawab tenaga kerja dialihkan kepada pengusaha outsourcing. Dalam prakteknya banyak perusahaan tidak mentaati peraturan. Seperti Jaminan Sosial Kesehatan dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan serta hak normatif lainnya.
Dalam praktek banyak perusahaan outsourcing telah melakukan pelanggaran ini.
Sistem outsourcing ini jelas merugikan karyawan, sebab selain tak punya jenjang karir terkadang gaji mereka di potong oleh perusahaan induk.
Pekerja juga tidak mengetahui berapa potongan gaji yang diambil perusahaan outsourcing atas jasanya memberi pekerjaan di perusahaan tersebut.
Melihat fenomena sistem outsorcing ini yang telah merambat ke segala lini pekerjaan hendaknya semua pihak khususnya Dinsosnaker Pematangsiantar selaku pengawas dan eksekutor harus melakukan pengawasan dan penindakan agar pelanggaran hak azasi manusia (HAM) melalui sistem outsourcing ini tidak terjadi lagi. Semoga.