
BeritaPekerja.com | Jakarta – Setelah mengajukan pantun Melayu menjadi warisan budaya takbenda ke UNESCO, tugas Riau dan Kepulauan Riau (Kepri) sebagai daerah ‘endemik’ pantun Melayu tidaklah usai.
Kedua daerah yang didaftarkan menjadi penanggung jawab pantun Melayu tersebut sudah menyiapkan serangkaian strategi mencegah produk budaya itu hilang dari peradaban.
Salah satu langkah untuk mencegah pantun hilang dari peradaban menurut Kepala Dinas Kebudayaan Riau Yoserizal Zen adalah adanya pengakuan internasional agar tetap lestari.
“Kami mengajukan pantun, pertama, di samping pantun merupakan warisan sejak dahulu kala, kami khawatirkan juga penuturnya berkurang dan punah,” kata Yoserizal Zen kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
“Sehingga kalau sudah jadi warisan dunia, memory of the world, tentu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjaga, merawat, sampai mengembangkannya,” lanjutnya.
Pengajuan menjadi warisan budaya bukanlah langkah pertama Riau dan Kepri mengamankan warisan leluhur mereka. Ada beberapa upaya yang telah dilakukan sebelumnya.
Sebagai dua daerah dengan mayoritas berbudaya Melayu, Riau dan Kepri memisahkan Dinas Kebudayaan dengan satuan kerja lainnya. Dinas Kebudayaan di Indonesia yang berdiri sendiri sebelumnya dimiliki oleh Bali.
Pemisahan satuan perangkat kerja ini bertujuan agar Dinas Kebudayaan dapat fokus secara maksimal menangani soal budaya, mulai dari bahasa, seni, adat, cagar budaya, sejarah, hingga museum.
Kedua provinsi itu juga telah memasukkan pantun dalam kurikulum pendidikan melalui muatan lokal Budaya Melayu.
Namun semua itu dirasa belum cukup. Yoserizal menekankan pentingnya pengakuan internasional yang juga dapat mendukung tujuan Riau menjadi pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara pada 2020.
Pelestarian Alam, Pelestarian Pantun
Sebagai daerah dengan kebiasaan berpantun yang mengakar dalam kehidupan bermasyarakat, Yoserizal mengakui produk kebudayaan lisan itu pun masih menghadapi serangkaian ancaman.
Yoserizal mengakui jumlah maestro penutur pantun atau pemantun dari tahun ke tahun tidak sebanding dengan banyaknya penduduk yang terus bertambah.
Lihat juga: |
Dia berpendapat ada beberapa hal menyebabkan terhambatnya perkembangan pantun dan jumlah penutur. Beberapa hal itu adalah kurangnya pendokumentasian, minimnya sosialisasi, serta globalisasi.
Pengaruh budaya luar dinilai membuat tradisi daerah yang menggunakan pantun semakin jarang dilakukan masyarakat.
“Kami akan terus menggiatkan budaya berpantun di tanah Melayu melalui berbagai program mulai dari festival, perlombaan, hingga penyambutan tamu di maskapai penerbangan dari dan ke Riau yang menggunakan pantun,” kata Yoserizal.
Di sisi lain, menurut Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Riau Al Azhar mengatakan ada faktor lain yang mengancam keberadaan pantun, yaitu kondisi alam.
Pasalnya, banyak tradisi lisan yang bergantung pada kondisi ekologi dan menjadikan lingkungan sebagai sumber inspirasi.
Pantun Melayu secara pakem memang mengambil materi berupa pencitraan alam sebagai bahan sampiran sebelum memasuki isi atau maksud pantun.
Al Azhar berharap dengan masuknya pantun sebagai nominasi warisan dunia yang dijadwalkan dinilai pada 2018, pemerintah dapat melindungi pantun yang sudah hampir punah dengan menurunkan angka kerusakan alam.
Dengan melestarikan kondisi alam, Al Azhar menilai secara tidak langsung dapat mencegah pantun hilang dari peradaban masyarakat Melayu.
“Riau ini kan lingkungannya besar dan deforestasi berlangsung amat jelas. Padahal sebagian besar dari tradisi lisan masyarakat Melayu itu amat bergantung pada kelestarian alam,” kata Al Azhar.
“Oleh karena itu, kami berharap agar deforestasi yang berlangsung di Riau bisa segera dihentikan,” lanjutnya. (end)
Sumber : CNN Indonesia