EkonomiNews

Jangan Ada Dusta Diantara Kita (Kebijakan Kemdag Perihal Stabilitas Harga Bahan Pangan)

BeritaPekerja.com – Kemdag akhirnya mengeluarkan sebuah kebijakan baru untuk menstabilkan harga pangan yang selalu bergejolak menjelang Ramadan, pada Selasa 4 April 2017 lalu. Nota kesepakatan atau MoU (Memorandum of Understanding) antara Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) dengan distributor gula, minyak goreng dan daging kerbau, kemudian ditandatangani di kantor Kementerian Perdagangan. Kebijakan tersebut mewajibkan pengusaha ritel modern untuk menurunkan tiga komoditas pangan yang sudah disepakati bersama, sesuai dengan harga acuan pemerintah.

Dengan disepakatinya MoU tersebut, maka HET (Harga Eceran Tertinggi) yang dijual di ritel anggota Aprindo adalah sebagai berikut,
  • gula putih Rp 12.500/kg,
  • minyak goreng Rp 11.000/kg, dan
  • daging kerbau beku Rp 80.000/kg.

Ketentuan tersebut berlaku efektif sejak hari Senin tanggal 10 April 2017 ini.

Pengusaha ritel dipastikan akan tetap untung karena harga dari distributor kepada ritel anggota Aprindo, juga sudah ditentukan oleh pemerintah sebagai berikut,

  • gula putih Rp 11.900/kg dengan kuota 11.520 ton/bulan,
  • minyak goreng Rp 10.500/kg dengan kuota 9.220 kilo liter/bulan,
  • daging kerbau beku Rp 75.000/kg dengan kuota 112,5 ton/bulan

Efektif dan tepatkah kebijakan Kemdag ini? Mari kita cermati satu persatu.

Pertama, Gula putih.

Konsumsi Nasional gula putih pada tahun 2016 lalu adalah sebesar 2,82 juta ton, atau berkisar 235.000 ton/bulan. Sementara kuota dari distributor kepada ritel anggota Aprindo adalah 11.520 ton/bulan, atau hanya sekitar 5% dari kebutuhan nasional. Harga pasar akan selalu ditentukan oleh “Hukum supply demand” Ketika kuota dari distributor tersebut telah habis dijual di ritel, maka kekuatan pasarlah yang akan menentukan berapa harga yang sesuai untuk gula manis ini…

Ketika gula murah masuk ke ritel, maka akan langsung segera habis. Apakah habisnya gula putih di ritel tersebut karena diserbu oleh konsumen? Tentu saja tidak! Konsumen yang terbiasa membeli gula putih kemasan sekilo untuk konsumsi dua bulan, tidak akan sudi membeli tiga kilo gula putih hanya karena harganya murah. Yang membeli tentu saja adalah “spekulan cilik,” yaitu pedagang eceran atau warung kelas rumah tangga yang akan menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi! Akhirnya sasaran yang ingin dicapai oleh Kemdag meleset!

Kedua, Minyak goreng.

Data Produksi Nasional CPO pada tahun 2016 lalu, berkisar 32 juta metrik ton. Ekspor berkisar 27 juta metrik ton, dan sisanya 5 juta metrik ton dipakai untuk kebutuhan minyak goreng lokal. Sejak dulu produsen lebih suka melakukan ekspor CPO melalui L/C kontrak panjang dengan pembayaran US dollar. Namun harga CPO dipengaruhi oleh kurs dollar dan permintaan dunia yang sudah mulai jenuh, padahal produksi CPO terus bertambah.

Dengan berfluktuasinya harga CPO dunia, pajak ekspor CPO yang ditetapkan oleh pemerintah, dan moratorium pembukaan lahan sawit baru, Kini produsen mulai tertarik untuk membangun pabrik penyulingan minyak goreng dan turunannya. Memang benar, membangun pabrik membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Akan tetapi, ketika pemerintah tidak mengijinkan lagi pembukaan lahan sawit baru, maka membangun pabrik refinery tetap lebih menguntungkan daripada membiarkan dana segar menganggur di bank!

Ketika pabrik refinary sudah bisa berjalan, maka kini lebih mudah bagi produsen untuk  menghitung laba, karena harga penjualan minyak goreng lokal akan selalu stabil sesuai dengan harga Kemdag! Artinya, harga minyak goreng tidak akan dipengaruhi oleh fluktuasi dollar dan suppy demand CPO dunia.

Ketiga, Daging kerbau beku.

Berapakah jumlah konsumen sebenarnya yang mau membeli daging kerbau beku eks India untuk dikonsumsi langsung? Pada tahun lalu, pemerintah menjual frozen meat (daging beku) sapi dengan harga Rp 80 ribu/kg lewat operasi pasar, dan tidak laku. Sekali lagi tidak laku!! Mengapa? Karena “Kemdag tidak mengenal filosofi perut warganya!!” Di negeri ini konsumsi daging sapi dikenal dengan pola konsumsi daging segar (fresh meat) yang rasa dagingnya masih bisa dinikmati.

Jadi kebijakan tahun lalu itu dianggap gagal. Apakah frozen meat itu menjadi sia-sia? Tentu saja tidak! Ini Indonesia bung, negeri dimana tidak akan ada yang terbuang secara sia-sia! Daging beku tersebut sudah ditunggu oleh para “pengrajin daging olahan” untuk dibuat menjadi bakso, sosis, burger sapi maupun makanan olahan lainnya. Harga daging sapi di pasar sudah mencapai Rp 120 ribu/kg. Rp 80 ribu jelas lebih murah daripada Rp 120 ribu!!! Apalagi pasokan “celeng” dari Lampung tidak selalu kontiniu, terkait faktor keamanan…

Rupanya ada orang yang hendak mengulang “romantika frozen meat” tahun lalu itu… padahal harga daging kerbau beku di ritel-ritel Semenanjung Malaysia berkisar RM15-RM18 saja. Kalau di kampung Sanjay Dutt dan Shah Rukh Khan, tentu saja akan lebih murah lagi!! Nah…. jadi tinggal pegang kalkulator, lalu kalikan kuota 112, 5 ton dikali keuntungan… tapi kali ini yang pegang kalkulator bukan pengusaha ritel, melainkan distributor daging sapi beku…

Eits, tunggu dulu. Kita baru berbicara daging kerbau yang berada di ritel anggota Asprindo, tanpa pernah tahu berapa impor daging kerbau beku yang sesungguhnya….

***

Dari uraian diatas, dapat kita tarik kesimpulan.

1. Gula putih, (stok hanya 11.520 ton) kebijakan Kemdag ini rasanya tidak akan berhasil mempertahankan harga.

2. Minyak goreng, kebijakan Kemdag ini sangat pas, wajar dan bisa dilaksanakan.

3. Daging kerbau beku

Faktanya, masyarakat tidak pernah tertarik untuk mengkonsumsi daging kerbau beku eks India ini, sekalipun harganya diturunkan lagi. Akan tetapi industri/pengrajin daging olahan tentu saja membutuhkan daging kerbau beku yang harganya lebih murah dari harga daging sapi. Jadi Kemdag harus tegas, sasaran yang ingin dicapai itu masyarakat biasa atau industri/pengrajin daging olahan

Kalau sasarannya industri/pengrajin daging olahan, maka demi peri keadilan, harga daging kerbau beku eks India itu harus diturunkan lagi. Atau izinkan Asosiasi industri/pengrajin daging olahan untuk mengimpor secara langsung daging kerbau beku eks India tersebut, untuk menekan biaya produksi mereka. Dalam kesepakatan antara Bulog selaku pengimpor dengan ADDI (Asosiasi Distributor Daging Indonesia) Bulog menjual daging kerbau beku dengan harga Rp 55 ribu/kg, sedangkan ADDI menjual ke ritel sebesar Rp 75 ribu/kg.

http://kesehatan.kontan.co.id/news/harga-daging-kerbau-bulog-melambung-di-pasaran

Laba kotor ritel yang harus menyediakan showcase freezer beserta biaya listrik, jelas kelihatan yaitu sebesar Rp 5 ribu/kg. Laba kotor ADDI yang hanya memindahkan daging kerbau beku dari gudang Bulog ke ritel adalah sebesar Rp 20 ribu/kg!!! Buset!!! Jangan jangan… aduh… jangan jangan.. ada yang…nitip “daging kebo”… entah di Bulog entah di kemdag….

Reinhard F Hutabarat

Sumber  : SEWORD.COM

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button