EkonomiNews

Menanti Nasib Gaji Tak Kena Pajak di Tangan Sri Mulyani

Batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang tinggi di Indonesia membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati cukup heran karena membatasi penerimaan pajak. Di sisi lain, hal itulah yang membuat daya konsumsi masyarakat masih mumpuni.

Pasalnya, di tengah upaya pemerintah meraup penerimaan negara dari pajak, jumlah Wajib Pajak (WP) Indonesia harus berkurang alami akibat peraturan PTKP yang memungkinkan masyarakat berpenghasilan di bawah Rp54 juta per tahun luput dari pungutan pajak.

Menurut Sri Mulyani, batas PTKP Indonesia merupakan yang tertinggi di Asean, meskipun pendapatan per kapitanya lebih rendah jika dibandingkan Thailand, Vietnam, Malaysia bahkan Singapura sekalipun. Sri Mulyani pun tengah mengkaji apakah dengan mengubah PTKP bisa mendongkrak rasio pajak terhadap PDB atau Tax Ratio.

Berdasarkan data riset Danny Darrussalam Tax Center (DDTC), jika dihitung dengan variable daya beli, PTKP di Indonesia mencapai 0,8 kali dari pendapatan per kapita

Angka tersebut termasuk relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara maju atau kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Thailand, Kamboja, Malaysia, Filipina dan Laos.

Bahkan, tingkat PTKP Indonesia berhasil mengungguli Jepang dan Inggris yang masing-masing hanya 0,79 dan 0,37 kali dari pendapatan per kapita

Dalam menyusun batas PTKP, beberapa negara menggunakan indikator tingkat ekonomi masyarakat seperti pendapatan perkapita, laju inflasi, daya beli, tingkat konsumsi sehingga PTKP benar-benar mencerminkan kemampuan seseorang dalam membeli barang atau jasa.

Pengamat Pajak Center Yustinus Prastowo cukup memaklumi pendapat Sri Mulyani yang menilai PTKP Indonesia terlalu tinggi.

Menurutnya, jika dibandingkan dengan negara lain, formulasi PTKP Indonesia memang jauh tertinggal karena hanya memasukkan komponen biaya hidup minimum yang standar. Sehingga, wacana merevisi PTKP adalah kesempatan memperbaiki skema dan model agar lebih adil.

Ia pun mengapresiasi, ide Dirjen Pajak untuk mengubah batasan PTKP dari tunggal/nasional menjadi berbasis wilayah berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebagai kemajuan paradigmatik dalam menempatkan PTKP sebagai instrumen kebijakan fiskal yang lebih efektif.

Selama ini PTKP diatur di Pasal 7 UU PPh dan disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai perkembangan dan kondisi ekonomi. Kenaikan PTKP terakhir kali pun terjadi pada tahun 2016 menjadi Rp4,5 juta per bulan dari Rp 3 juta per bulan. Kenaikan ini memang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan daya beli rumah tangga sehingga mendorong konsumsi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

“Tapi ingat, kebijakan ini juga menggerus penerimaan negara sekitar Rp 18 trilyun dan tidak tepat sasaran karena kenaikan PTKP juga dinikmati kelompok masyarakat berpenghasilan menengah-atas,” ujar Yustinus.

Bahaya Tekanan ke Daya Beli

Namun di sisi lain, penurunan batas PTKP juga dinilai tidak tepat di tengah melemahnya daya beli masyarakat. Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai jika rencana itu diimplementasikan, maka akan ada penurunan tingkat konsumsi, terutama di daerah yang memiliki Upah Minimum Provinsi (UMP) rendah.

Aturan yang berlaku saat ini, batas maksimal penghasilan yang tidak kena pajak adalah Rp4,5 juta per bulan. Apabila batas tersebut diturunkan sehingga disesuaikan dengan UMP, maka akan semakin banyak masyarakat yang penghasilannya dikenai pajak. Sebab, tidak ada daerah dengan UMP mencapai Rp4,5

Ia pun mengapresiasi, ide Dirjen Pajak untuk mengubah batasan PTKP dari tunggal/nasional menjadi berbasis wilayah berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebagai kemajuan paradigmatik dalam menempatkan PTKP sebagai instrumen kebijakan fiskal yang lebih efektif.

Selama ini PTKP diatur di Pasal 7 UU PPh dan disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai perkembangan dan kondisi ekonomi. Kenaikan PTKP terakhir kali pun terjadi pada tahun 2016 menjadi Rp4,5 juta per bulan dari Rp 3 juta per bulan. Kenaikan ini memang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan daya beli rumah tangga sehingga mendorong konsumsi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

“Tapi ingat, kebijakan ini juga menggerus penerimaan negara sekitar Rp 18 trilyun dan tidak tepat sasaran karena kenaikan PTKP juga dinikmati kelompok masyarakat berpenghasilan menengah-atas,” ujar Yustinus.

Bahaya Tekanan ke Daya Beli

Namun di sisi lain, penurunan batas PTKP juga dinilai tidak tepat di tengah melemahnya daya beli masyarakat. Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai jika rencana itu diimplementasikan, maka akan ada penurunan tingkat konsumsi, terutama di daerah yang memiliki Upah Minimum Provinsi (UMP) rendah.

Aturan yang berlaku saat ini, batas maksimal penghasilan yang tidak kena pajak adalah Rp4,5 juta per bulan. Apabila batas tersebut diturunkan sehingga disesuaikan dengan UMP, maka akan semakin banyak masyarakat yang penghasilannya dikenai pajak. Sebab, tidak ada daerah dengan UMP mencapai Rp4,

Karenanya, akan ada banyak masyarakat yang semula tidak bayar pajak lalu menjadi wajib pajak. Hal ini, kata Bhima, akan membuat kelompok masyarakat tersebut mengurangi konsumsi mereka

Analisis

Menanti Nasib Gaji Tak Kena Pajak di Tangan Sri Mulyani

Elisa Valenta Sari , CNN Indonesia
Selasa, 25/07/2017 12:10 WIB
Menanti Nasib Gaji Tak Kena Pajak di Tangan Sri MulyaniMeski penerimaan negara tertahan, batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang tinggi turut membuat daya konsumsi masyarakat masih mumpuni. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Jakarta, CNN Indonesia — Batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang tinggi di Indonesia membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati cukup heran karena membatasi penerimaan pajak. Di sisi lain, hal itulah yang membuat daya konsumsi masyarakat masih mumpuni.

Pasalnya, di tengah upaya pemerintah meraup penerimaan negara dari pajak, jumlah Wajib Pajak (WP) Indonesia harus berkurang alami akibat peraturan PTKP yang memungkinkan masyarakat berpenghasilan di bawah Rp54 juta per tahun luput dari pungutan pajak.

Menurut Sri Mulyani, batas PTKP Indonesia merupakan yang tertinggi di Asean, meskipun pendapatan per kapitanya lebih rendah jika dibandingkan Thailand, Vietnam, Malaysia bahkan Singapura sekalipun. Sri Mulyani pun tengah mengkaji apakah dengan mengubah PTKP bisa mendongkrak rasio pajak terhadap PDB atau Tax Ratio.

Berdasarkan data riset Danny Darrussalam Tax Center (DDTC), jika dihitung dengan variable daya beli, PTKP di Indonesia mencapai 0,8 kali dari pendapatan per kapita.

Angka tersebut termasuk relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara maju atau kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Thailand, Kamboja, Malaysia, Filipina dan Laos.

Bahkan, tingkat PTKP Indonesia berhasil mengungguli Jepang dan Inggris yang masing-masing hanya 0,79 dan 0,37 kali dari pendapatan per kapita.

Menanti Nasib Gaji Tak Kena Pajak di Tangan Sri Mulyani(CNN Indonesia/Laudy Gracivia)

Dalam menyusun batas PTKP, beberapa negara menggunakan indikator tingkat ekonomi masyarakat seperti pendapatan perkapita, laju inflasi, daya beli, tingkat konsumsi sehingga PTKP benar-benar mencerminkan kemampuan seseorang dalam membeli barang atau jasa.

Pengamat Pajak Center Yustinus Prastowo cukup memaklumi pendapat Sri Mulyani yang menilai PTKP Indonesia terlalu tinggi.

Menurutnya, jika dibandingkan dengan negara lain, formulasi PTKP Indonesia memang jauh tertinggal karena hanya memasukkan komponen biaya hidup minimum yang standar. Sehingga, wacana merevisi PTKP adalah kesempatan memperbaiki skema dan model agar lebih adil.

Ia pun mengapresiasi, ide Dirjen Pajak untuk mengubah batasan PTKP dari tunggal/nasional menjadi berbasis wilayah berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebagai kemajuan paradigmatik dalam menempatkan PTKP sebagai instrumen kebijakan fiskal yang lebih efektif.

Selama ini PTKP diatur di Pasal 7 UU PPh dan disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai perkembangan dan kondisi ekonomi. Kenaikan PTKP terakhir kali pun terjadi pada tahun 2016 menjadi Rp4,5 juta per bulan dari Rp 3 juta per bulan. Kenaikan ini memang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan daya beli rumah tangga sehingga mendorong konsumsi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

“Tapi ingat, kebijakan ini juga menggerus penerimaan negara sekitar Rp 18 trilyun dan tidak tepat sasaran karena kenaikan PTKP juga dinikmati kelompok masyarakat berpenghasilan menengah-atas,” ujar Yustinus.

Bahaya Tekanan ke Daya Beli

Namun di sisi lain, penurunan batas PTKP juga dinilai tidak tepat di tengah melemahnya daya beli masyarakat. Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai jika rencana itu diimplementasikan, maka akan ada penurunan tingkat konsumsi, terutama di daerah yang memiliki Upah Minimum Provinsi (UMP) rendah.

Aturan yang berlaku saat ini, batas maksimal penghasilan yang tidak kena pajak adalah Rp4,5 juta per bulan. Apabila batas tersebut diturunkan sehingga disesuaikan dengan UMP, maka akan semakin banyak masyarakat yang penghasilannya dikenai pajak. Sebab, tidak ada daerah dengan UMP mencapai Rp4,5 juta.

Karenanya, akan ada banyak masyarakat yang semula tidak bayar pajak lalu menjadi wajib pajak. Hal ini, kata Bhima, akan membuat kelompok masyarakat tersebut mengurangi konsumsi mereka.

Disposable income menjadi berkurang. Dampaknya daya beli akan merosot cukup signifikan,” kata Bhima.

Ia pun merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pengeluaran 40 persen penduduk terbawah hanya tumbuh 1,89 persen. Angka itu cukup rendah dibanding angka per September 2016 yang tumbuh 4,56 persen.

Jika batas PTKP diturunkan, Bhima khawatir pertumbuhan pengeluaran kelompok menengah ke bawah akan semakin terdampak.

“Saya kira momentumnya kurang tepat untuk merubah PTKP. Dalam sejarahnya juga PTKP tidak pernah diturunkan selalu dinaikkan untuk mengimbangi kenaikan UMP,” kata dia. (gir)

0 Komentar

Disposable income menjadi berkurang. Dampaknya daya beli akan merosot cukup signifikan,” kata Bhima.

Ia pun merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pengeluaran 40 persen penduduk terbawah hanya tumbuh 1,89 persen. Angka itu cukup rendah dibanding angka per September 2016 yang tumbuh 4,56 persen.

Jika batas PTKP diturunkan, Bhima khawatir pertumbuhan pengeluaran kelompok menengah ke bawah akan semakin terdampak.

“Saya kira momentumnya kurang tepat untuk merubah PTKP. Dalam sejarahnya juga PTKP tidak pernah diturunkan selalu dinaikkan untuk mengimbangi kenaikan UMP,” kata dia. (gir)

0 Komentar

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button