Politik

Pro dan Kontra, Wacana Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

BeritaPekerja.Com | Jakarta – Titi Anggraini Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menganggap wacana untuk menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada DPRD sudah tidak relevan di era reformasi.

“Dengan keluarnya Perppu di era pak SBY, itu sudah menandai akhir dari diskursus pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Karena ketika Perppu itu dikeluarkan, itu juga sudah disetujui oleh DPR RI,” ujar Titi seperti dilansir dari CNNIndonesia.com, Sabtu (7/4).

Titi beranggapan, kemunculan wacana ini mengindikasi ketidak ikhlasan kelompok elite dalam memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat. Titi menegaskan munculnya wacana ini jelas mengindikasi terdapatnya kemunduran dalam demokrasi di Indonesia.

“Menurut saya motivasinya adalah memperoleh kekuasaan dan mengabaikan hak rakyat,” kata dia.

Titi tak menampik pilkada langsung memang masih memiliki banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Namun, tegas dia, bukan dengan cara mengganti mekanisme pemilihan dan menyerahkannya kepada DPRD.

Kunci penyelesaian masalah yang tepat menurut Titi terletak kelompok elite itu sendiri yakni pemangku kekuasaan dan para pembuat Undang-Undang.

“Masalah-masalah itu bisa kita tuntaskan kalau elitenya betul-betul sungguh-sungguh menyiapkan instrumen yang bisa menjamin kompetisi yang luberjurdil bisa tercipta,” kata Titi.

Ia mengatakan persoalan biaya pilkada mahal yang menyebabkan terjadinya politik uang yang disebut-sebut menjadi dasar munculnya wacana ini pun diragukan akan teratasi jika pemilihan kepala daerah diserahkan kepada DPRD.

Titi berpikiran demikian karena tetap maraknya rentetan kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan kader-kader partai politik, termasuk yang duduk di DPRD. Ia mengambil contoh 38 orang anggota DPRD Sumatera Utara yang menjadi tersangka kasus korupsi.

Ada tiga hal yang menurut Titi merupakan solusi dari permasalahan pilkada langsung, yakni partai menjalankan fungsinya dengan maksimal-pendidikan politik, kaderisasi, dan rekrutmen politik yang demokratis, pembuatan peraturan yang membatasi pengeluaran dana kampanye, serta memastikan penegakan hukum dilakukan dengan tegas dan efektif.

Di sisi lain, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu mengungkapkan demokrasi bukanlah sebuah tujuan, melainkan alat politik. Atas dasar itu, ia berharap publik tak dulu alergi pada wacana pengembalian wewenang itu kepada DPRD karena tengah dikaji.

“Ini sedang dikaji efektivitas pelaksanaan pilkada langsung, baik terhadap masyarakat maupun terhadap dampak-dampaknya,” ujar Masinton

Masinton menerangkan, wacana ini dikaji sesuai dengan realita dengan memperhatikan masukan-masukan dari organisasi masyarakat serta pertimbangan dari pemerintah.

“Dikaji itu kan juga ada masukan dari ormas-ormas, seperti NU kan juga pernah mengusulkan supaya pilkada itu dikembalikan ke DPRD, mengingat dampak dari pilkada langsung itu menciptakan biaya tinggi, kemudian (menyebabkan) ada praktik money politic,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono juga mengaku setuju bahwa pilkada langsung memerlukan biaya yang terlalu tinggi

Menurutnya, faktor tersebut akan memicu timbulnya politik uang di kalangan para calon kepala daerah. Atas dasar itu ia berpendapat lebih baik kepala daerah langsung dipilih oleh DPRD untuk mencegah terjadinya politik uang.

“Menurut saya kalau proses pemilihannya tidak diwarnai dengan politik uang [dipilih langsung oleh DPRD], sekiranya nanti kepala daerah tersebut menjabat, dia tidak terikat dengan pihak-pihak mana pun, dan tidak terbebani juga,” ujar Ferry melalui sambungan telepon, Sabtu (7/4).

Wacana untuk merevisi UU Pilkada terkait mekanisme pemilihan kepala daerah agar dilakukan DPRD disampaikan usai Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menggelar pertemuan dengan Ketua DPR Bambang Soesatyo di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (6/4).

Bambang menuturkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD diwacanakan karena pemilihan langsung oleh masyarakat memiliki banyak permasalahan, salah satunya yang mendasar adalah terkait besarnya biaya kampanye dan biaya penyelenggaraan pilkada. Berdasarkan data Kemendagri, ia menyatakan biaya penyelengaraan Pilkada langsung bisa mencapai Rp18 triliun.

“Kalau Rp18 triliun itu digunakan untuk biaya pembangunan lebih bermanfaat bagi masyarakat barangkali itu pilihan yang baik,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Tjahjo menyampaikan masyarakat sejatinya memiliki hak untuk memilih pimpinan daerah hingga Presiden. Namun hak itu tidak sejalan dengan praktik di lapangan bahwa Pilkada langsung sangat menguras biaya negara dan para calon kepala daerah.

Tingginya biaya politik itu kemudian berdampak pada tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah. Korupsi yang dilakukan kepala daerah terpilih untuk mengembalikan modal kampanye yang tidak bisa ditutup lewat gaji yang hanya jutaan rupiah.

“Seorang mau ikut Pilkada habisnya kalau mau jujur puluhan miliar. Padahal tidak sesuai dengan apa yang didapat. Intinya ini masih dalam tahap diskusi,” ujar Tjahjo. (Kid/BPCOM)

 

Sunber: CNN Indonesia.com

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button