BeritaPekerja.Com
Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Pembahasan mengenai yang satu ini, masih tetap menarik dari tahun-tahun sebelumnya. Apalagi saat memperingati Hardiknas, pendidikan akan menjadi pembahasan yang semakin menarik.
Namun lucunya melihat kondisi dewasa ini, pembahasan mengenai pendidikan sudah kalah menarik dengan pembahasan yang lebih menarik semisal; Mantan Ketua DPR yang divonis hukuman 15 tahun penjara atau perihal pemilihan presiden 2019.
Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia tidak akan terlepas dari UU yang mengaturnya.
Menilik kondisi sekarang dengan tetap mengacu UUD 1945 pasal 31 tentang pendidikan, apakah pendidikan sudah sesuai dengan UU tersebut? Apakah pendidikan di Indonesia sudah merata? Apakah semua warga negara sudah mendapat pendidikan? Atau apakah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diprioritaskan sekurang-kurangnya 20% untuk anggaran pendidikan sudah dilaksanakan?
Menurut saya, apa yang dicantumkan pada UU tersebut jauh berbeda dengan apa yang ada terjadi saat ini. Dari ujung Indonesia Timur sampai Indonesia Barat hanya dengan melihat sekilas saja, jelas bahwa pendidikan di Indonesia masih banyak yang belum merata. Banyak anak-anak yang putus sekolah lantaran biaya sekolah yang mahal atau perlengkapan sekolah yang tidak terpenuhi.
Yang lebih mirisnya, banyak yang sama sekali tidak pernah mengecap pendidikan di sekolah sekalipun masih dengan akibat yang sama biaya pendidikan dan perlengkapan sekolah yang tidak bisa terpenuhi. Padahal pada pasal 31 ayat 1 tercantum,” Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Dengan tidak mengecap pendidikan atau putus sekolah, otomatis hak mereka sudah dirampas.
Lantas dengan kondisi ini masihkah UU tersebut berlaku? Belum lagi masalah gedung sekolah dan perlengkapan seperti buku, dan fasilitas lainnya banyak yang tidak memadai. Padahal pada UUD 1945 pasal 31 ayat 4 tercantum bahwa, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Kalau memang diprioritaskan ke Anggaran Pendidikan seharusnya hal-hal seperti itu tidak terjadi.
Selain pendidikan saat ini yang tidak sesuai dengan UU yang mengatur pendidikan, masalah yang masih saja tidak bisa diatasi adalah masalah guru honor yang dianaktirikan.
Banyak guru honor yang mendapat gaji yang tidak sesuai dengan kerja kerasnya. Apalagi guru honor yang berada di daerah-daerah terpencil, yang sangat kurang diperhatikan oleh pemerintah.
Guru-guru honor yang telah bekerja keras untuk mencerdaskan bangsa ini upahnya malah sangat rendah, berbanding terbalik dengan mereka yang duduk di bangku pemerintah yang kerjanya tidur saja.
Padahal semua lapisan masyarakat berharap bahwa pendidikan di Indonesia baik para pendidik terkhusus guru-guru honor dan para peserta didik mendapatkan hal yang seharusnya pantas mereka dapatkan. Tapi kenyataannya semua berbanding terbalik dengan dengan yang diharapkan.
Dalam hal ini, pemerintah tidak boleh hanya diam atau mengumbar janji-janji tapi tidak pernah direalisasikan. Mereka (anak-anak yang tidak bisa sekolah, sekokah yang fasilitasnya tidak memadai/kurang, dan para guru honor) harus menjadi tanggungjawab bersama, mereka harus mendapatkan hak mereka.
Pada Hari Pendidikan Nasional ini, jangan hanya digunakan untuk mengenang pahlawan-pahlawan pendidikan saja atau mengumbar harapan-harapan untuk pendidikan di Indonesia tapi hasilnya tidak terlihat, tetapi Hardiknas ini harus dijadikan sebagai suatu langkah perubahan untuk memajukan dan mesejahterakan pendidikan Indonesia terkhusus mereka yang dirampas haknya.
Penulis: Wakil Ketua Bidang Kajian di Sarinah GMNI Kota Siantar