Oleh: Rekson Silaban
Serikat Buruh (SB) sejak awal kelahirannya abad 19 di Inggris dikembangkan sebagai wadah yang mewakili buruh memperjuangkan perbaikan kesejahteraan buruh.
Pada mulanya SB dibentuk hanya untuk mewakili pekerja ahli (skilled workers), karena menganggap pekerja tidak ahli tidak cocok bergabung dalam wadah organisasi formal SB. Mungkin karena ada perbedaan karakteristik upah, pendidikan, isu, aspirasi.
Hal senada juga terjadi di Amerika Serikat, dimana SB pekerja ahli American Federation of Labor (AFL) menolak upaya pekerja tidak ahli bergabung dengan mereka. Pekerja tidak ahli tersebut akhirnya membentuk wadah sendiri bernama CIO (Congress of Industrial Organization), yang sukses mengembangkan jumlah keanggotaan karena mampu merekrut pekerja industri baja dan otomotif.
Akhirnya tahun 1955, AFL dan CIO memutuskan bergabung dalam satu wadah tunggal dengan nama baru AFL-CIO, dengan jumlah anggota 15 juta orang. Peristiwa yang sama diikuti SB Inggris dan negara Eropa lainnya. Mereka memutuskan bersatu dengan satu alasan, untuk memperkuat posisi runding menghadapi pemilik modal dan penguasa pro kapitalis.
Keputusan untuk memadukan semua buruh dalam satu wadah perjuangan, pada sejarah selanjutnya mampu membuat perjuangan SB lebih kuat dan disegani.
Tidaklah mengherankan banyak produk konvensi internasional ILO dan UU pro buruh lahir di periode tahun 1950 sampai 70’an.3 prinsip dasar serikat buruh
Dari sinilah awalnya konfederasi serikat buruh internasional (ITUC) mensyaratkan prinsip ‘representativeness’ sebagai salah satu syarat untuk bisa berafiliasi dengan ITUC.
Syarat lainnya adalah; independent dan democratic governance. Prinsip representasi menjadi penting untuk SB supaya memiliki hak mengatasnamakan aspirasi buruh. Sebagaimana terjadi dalam logika demokrasi, semakin tinggi reprsentasi sebuah lembaga, maka semakin tinggi kesahihan klaimnya.
Dari tiga prinsip ITUC tadi, SB Indonesia menghadapi masalah dalam hal: representasi dan independensi. Mayoritas SB yang terdaftar di Depnaker tidak memiliki kecukupan representasi. Hanya memiliki anggota kecil dan berpusat di 2-3 kota saja.
Namun karena tidak ada aturan ‘threshold’ seperti yang dibuat dalam UU Partai Politik, maka sekalipun kecil tetap bisa eksis dengan label nasional.
Independensi SB juga jadi masalah besar, karena dalam dua Pemilu terakhir, SB kelihatan terbuka mendukung partai-partai tertentu, dan terlibat dalam kampanye resmi.
Mereka membela diri dengan mengatakan bahwa fenomena tersebut juga dilakukan SB Eropa, Amerika, dan banyak negara lainnya.
Padahal ada perbedaan karakteristik yang sangat jelas antara kita dengan mereka, yaitu; keberpihakan politik yang dilakukan SB Inggris ke Partai Buruh Inggris, begitu juga dengan DGB Jerman ke Partai SPD, atau kedekatan AFL-CIO ke Partai Demokrat Amerika Serikat, berlangsung tanpa imbal jasa politik, misalnya diiming-iming dijadikan menteri kabinet, pejabat komisaris BUMN atau jabatan politik lainnya.
Keberpihakan politik yang dilakukan di negara tadi sepenuhnya dilakukan karena alasan kecenderungan kesamaan garis ideologis dan kesamaan aspirasi. Itu sebabnya dalam kampanye justru serikat buruh itulah yang mendanai kampanye partai.
Redefenisi Gerakan
Dalam sejarah pergerakan buruh, pasang surut kekuatan SB selalu berkaitan dengan kondisi ekonomi suatu negara. Bila ekonomi negara didominasi sektor pertanian, biasanya kekuatan SB lemah.
Pada masa pertumbuhan besar industri manufaktur, jumlah anggota SB bertumbuh cukup besar. Tapi saat ekonomi didominasi industri sektor jasa, kekuatan SB pasti melemah.
Inilah faktor utama yang membuat mengapa kekuatan SB di negara Industri maju menurun drastis dibanding era tahun 70’an, saat industri padat karya mereka relokasi ke negara berkembang, diganti oleh Industri sektor jasa.
Menurunnya anggota SB selanjutnya menurunkan kekuatan berunding SB tersebut. Selain karena menurunnya jumlah massa pendukung sebagai kekuatan “pressure group”, SB juga kehilangan dukungan finansial dari iuran anggota yang mengecil.
Masalahnya, era keberhasilan SB yang pernah dinikmati negara industri maju tidak terjadi di negara berkembang lainnya. Mengapa?
Karena tingkat pertumbuhan industrialisasi di negara berkembang tidak sempat memasuki era tenaga kerja penuh (full-employment). Kemudian pertumbuhan industrialisasi berlangsung bersandingan dengan tingginya pengangguran dan pekerja informal.
Dan diperburuk lagi dengan munculnya distrupsi pekerjaan dengan kehadiran revolusi industri 4.0 yang meruntuhkan konsep lama atas defenisi majikan dengan pekerja.
Pekerjaan di masa depan akan diwarnai jenis pekerja mandiri, sistem kerja bagi hasil, pekerja daring, pekerja ‘start-up’ yang tidak memerlukan majikan dan bantuan jasa perundingan dari SB. Sehingga tantangan pengorganisasian buruh di masa depan tidak hanya sebatas bagaimana menyatukan kekuatan pekerja ahli dan pekerja tidak ahli (seperti isu masa lalu), tapi bagaimana membuat pekerja informal, pekerja sektor jasa, pekerja mandiri, tertarik bergabung dengan SB.
Syarat pertama adalah dengan melakukan reformasi Undang-undang Ketenagakerjaan. Khususnya yang berkaitan dengan re-defenisi UU bagi pekerja yang juga merangkap sebagai majikan/pemilik usaha (pemilik Grab, pekerja bagi hasil, pekerja daring, bisnis start-up).
Profesi baru ini belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan, khususnya tentang perlindungan upah, jaminan sosial, pajak, cara berserikat, mekanisme penyelesaian konflik kerja, dan sebagainya.
Reformasi kedua berkaitan dengan perumusan isu pengorganisasian yang dikampanyekan SB yang menarik bagi pekerja ‘non-traditional’ tadi. Mengingat isu upah, jaminan sosial, perjanjian kerja, bukan lagi isu penting untuk menarik mereka bergabung dengan SB.
Jenis pekerja ini lebih menyukai isu kepastian regulasi berbisnis dan kepuasan bekerja. Sesuai data Biro Pusat Statistik (BPS) 2018, jumlah pekerja manufaktur sebagai basis utama keanggotaan SB, terus mengalami penurunan. Saat ini jumlah pekerja manufaktur untuk usaha skala besar (> 19 orang) berjumlah 6,6 juta orang. Sementara pekerja sektor jasa (> 19 orang) brrtumbuh terus menjadi 7,5 juta orang.
Kecenderungan ini akan terus membesar dikemudian hari sehubungan dengan makin membesarnya penetrasi sektor jasa dalam perekonomian Indonesia.
Dengan konsep konvensional aktifis serikat buruh sedang menyaksikan sebuah kecenderungan makin kurang relevannya perjuangan SB di masa depan. Sebab bila SB hanya merepresentasi porsi kecil buruh, sementara mayoritasnya tidak terwakili, apakah perjuangan SB masih bisa dikatakan: demokratis, representatif dan independen?
Selamat merayakan Hari Buruh Internasional…!