Artikel

People Power atau Peraturan Perundang-undangan?

Oleh: Teldibertu Dipatupa Halomoan, Anggota Biasa GMKI Cabang Depok

 

Istilah people power sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno, dimana rakyat datang bersama-sama untuk menyuarakan aspirasinya di depan senat (majelis tinggi dari badan legislatif di negara yang menganut sistem dua kamar). Rakyat menyuarakan aspirasi dikarenakan kebijakan atau peraturan-peraturan senat yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyatnya. Pada zaman Yunani kuno, rakyat menyuarakan aspirasinya di depan senat merupakan hal yang sudah biasa. Aksi ini biasanya dilakukan ketika rakyat dihadapkan pada kebijakan senat yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat.

Dalam negara demokrasi, pergantian kepemimpinan dilakukan melalui pemilihan umum sesuai dengan konstitusi negara demokrasi tersebut. People power terjadi bila terdapat upaya-upaya normal konstitusional untuk melakukan perubahan terhalang oleh kekuatan rezim, baik menggunakan kekuatan militer maupun kekuatan lembaga- lembaga konstitusional dan administratif yang direkayasa begitu rupa untuk melanggengkan kekuasaan.

Pada umumnya, people power selalu digunakan untuk menyebutkan gerakkan massa yang menentang penguasa dan digunakan untuk meruntuhkan atau menjatuhkan rezim yang berkuasa relatif terlalu lama, dianggap diktator, melampaui kewenangan (Ultra Vires)  dan menyengsarakan rakyat.

Terdapat beberapa peristiwa people power, seperti yang terjadi di Filipina dalam meruntuhkan kekuasaan Presiden Ferdinand Marcos. Dimana setelah 21 tahun kekuasaan Ferdinand Marcos sebagai presiden Filipina, maka pada tahun 1986 rakyat melakukan gerakan dalam wujud demonstrasi rakyat, yang menamakan dirinya revolusi EDSA untuk mendesak Pemerintahan Filipina yang diktator dan penuh dengan korupsi untuk melepaskan jabatannya. Selain Filipina, beberapa negara juga menerapkan people power, seperti yang dialami Tunisia, Mesir, Yaman, Suriah, Irak, Libia, Aljazair, dan Sudan.

Meskipun menurut Mahfud MD, dalam hukum tata negara, tidak dikenal istilah people power, sejarah mencatat bahwa people power pernah terjadi di Negara kita ketika gerakan people power dalam mendesakkan mundurnya Presiden Soekarno (1966/1967), serta people power dalam mendesak untuk “melengserkan” Presiden Soeharto (1998).

Akhir-akhir ini, setelah beberapa tokoh politik dan tokoh pergerakan melontarkan kata people power, maka kosa kata people power semakin banyak terdengar dalam wacana politik dan perbincangan masyarakat kita. Lontaran kata people power ini tidak lepas dari pelaksanaan pemilu 2019 serentak yang menurut beberapa tokoh politik dan tokoh masyarakat terjadi kecurangan-kecurangan yang sistematis, terstruktur dan massif serta mengakibatkan korban panitia pemilu yang jumlahnya banyak, yaitu lima ratus orang lebih.

Atas dugaan pelaksanaan pemilu 2019 yang terjadi kecurangan-kecurangan yang sistematis, terstruktur dan massif serta mengakibatkan korban panitia pemilu yang jumlahnya banyak, yaitu lima ratus orang lebih yang dilontarkan oleh salah satu kelompok peserta pemilu, maka salah satu kelompok peserta pemilu menuntut penghentian penghitungan suara hasil pemilu yang sedang dilakukan oleh KPU serta pengusutan atas meninggalnya lima ratus lebih orang anggota KPPS.

Berikutnya, tuntutan inipun membuahkan reaksi beberapa kali demonstrasi yang berlangsung di depan kantor Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu untuk menuntut dihentikannya proses penghitungan suara hasil pemilihan serta diusutnya penyebab kematian sekitar lima ratus lebih orang Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Kecurangan dalam pelaksanaan pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan serta adanya korban seperti yang disampaikan oleh salah satu kelompok peserta pemilu akan membuat kelompok peserta pemilu tersebut tidak akan menerima hasil pemilu dan akan melakukan aksi people power, yang akan dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 2019 bersamaan dengan waktu pengumuman hasil pemilu yang akan disampaikan oleh KPU.

Ajakan melakukan people power ini tentunya inkonstitusional, sebab menurut peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum, yang merupakan peraturan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 465 Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Bahwa Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum dilakukan melalui MK.

Adapun pasal-pasal tentang macam-macam permasalahan Pemilu, antara lain:

  1. Tindak Pidana Pemilu adalah pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilu, dimana perbuatan-perbuatan yang dapat digolongkan sebagai Tindak Pidana Pemilihan Umum (Pemilu) diatur dalam Pasal 488 sampai dengan Pasal 554 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
  2. Pelanggaran Administratif Pemilu adalah perbuatan atau tindakan yang melanggar tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu (Pasal 1 butir 28 Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia No. 8 Tahun 2018 Tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum). Pelanggaran Administratif Pemilu ini diselesaikan oleh KPU.
  3. Sengketa dalam hal Penyelenggaraan Pemilu, diselesaikan oleh Bawaslu yang sudah menjadi kewenangannya (Pasal 95 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum) dan Panwaslu yang dibentuk oleh Bawaslu itu sendiri untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu (Pasal 1 butir (20 s.d. 22) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilhan Umum).
  4. Perselisihan Hasil Pemilu, diselesaikan melalui MK

Oleh karena itu, dalam rangka menegakkan hukum maka sebaiknya peraturan yang sudah ada perlu dijalankan oleh masing-masing pihak. Mengingat peraturan sudah ada, sebaiknya masing masing pihak menjalankan putusan sesuai dengan undang-undang yang sudah ada tersebut. Apabila terdapat kecurangan atau penyimpangan hasil pemilu, maka dapat dilaporkan kepada bawaslu atau MK. Bila atas keberatan pelaksanaan pemilu dilakukan melalui people power atau pengerahan massa seperti yang dikemukakan oleh para tokoh tersebut, maka tentunya itu merupakan gerakan inkonstitusional, karena pembuktian dan keputusan bahwa penyelenggara pemilihan umum melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif ada mekanisme hukumnya bukan melalui gerakan people power. 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button