Menurut Max Wber hubungan sosial disebut sebagai konflik apabila sepanjang tindakan yang ada di dalamnya secara sengaja ditujukan untuk melaksanakan kehendak satu pihak untuk melawan pihak lain.
Dengan demikian, konflik merupakan suatu hubungan sosial yang dimaknai sebagai keinginan untuk memaksakan kehendaknya pada pihak lain. Oleh karena itu potensi konflik dapat diartikan sebagai peluang kehendak satu pihak untuk melawan pihak lain atau ingin memaksakan kehendaknya sendiri.
Kota pematangsiantar merupakan salah satu kota yang terletak di Provinsi Sumatera utara, dan kota terbesar nomor dua setelah kota Medan. Luas wilayah 79.97 km kuadrat, dengan jumlah penduduk kurang lebih 240.787, keberagaman demografi Simalungun 61.43%, Toba, Mandailing 9.6%, Jawa 14,2%, Tionghoa, Melayu serta populasi agama Kristen Protestan 49.83%, Islam 41,91%, Katolik 4.71, Buddha 4.36%, Hindu 0.11, Parmalim 0.07%, Konghucu 0.01% (Pada tahun 2010 menurut data BPS).
Kota homogen yang sudah berdiri sejak 24 April 1871 ini, yang banyak melahirkan para tokoh-tokoh nasional, dan sejak 1993 telah menerima penghargaan piala Adipura.
Dalam tulisan potensi konflik di kota pematangsiantar, merupakan bagian penting yang harus diketahui publik, agar tidak menjadi penghambat untuk kemajuan kota Toleransi versi Setara Institute ini.
Potensi Konflik Sosial dan Ekonomi
Menurut Enda M.C sosial merupakan suatu cara tentang bagaimana para individu saling berhubungan satu sama lain, bagian yang tidak utuh dari sebuah hubungan manusia sehingga membutuhkan sebuah pemakluman atas hal yang bersifat rapuh didalamnya.
Dengan realitas di Kota Pematangsiantar, masih terjadi pengelompokan antar golongan, seperti adanya kawasan etnis tionghoa, etnis batak: Toba, Mandailing, Toba, etnis jawa dapat menjadi potensi konflik, dikarenakan pengelompokan tersebut sangat jarang saling berinteraksi, kesolitan selama ini terbangun belum ada intervensi atau karena peranan pemerintah, melainkan lebih kepada “cuek”, namun belum sampai pada tingkatan saling memahami satu dengan yang lainnya.
Dikota pematangsiantar, etnis tonghoa juga hanya akan cendrung berteman sesama dengan mereka saja, begitu juga dengang suku-suku yang lain kecuali mereka yang sebagai pekerja sosial, itupun relasi bisnis bukan dalam rangka relasi sosial.
Jika kita mempehatikan dari jumlah masyarakat kota pematangsiantar yang menerima Rastra sejumlah 12.920 KK, yang tersebar di 52 Kelurahan dan 8 Kecamatan, sudah memperlihatkan bahwa ada potensi konflik ekonomi, dikarenakan setiap manusia memiliki hakekat untuk memenuhi kebutuhan untuk hidupnya, seperti yang dikatakan oleh Jacob Louis Mey Jr “Ilmu ekonomi adalah salah satu dari ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai segala usaha manusia untuk mencapai tujuan ke arah yang disebut kemakmuran di dalam kehidupannya.
Masyarakat yang belum mendapatkan kehidupan yang lebih layak akan sangat cendrung melakukan segala hal demi mendapatkannya, mereka akan mengemis, mengamen, mencuri, memulung, bahkan ada yang merampok atau membunuh. Hanya sedikit dari mereka yang pasrah dengan kondisi kemiskinannya hingga menunggu kematian.
Kesenjangan antara sikaya dan simiskin di kota pematangsiantar dapat menjadi potensi konflik sosial ekonomi, seperti mencoloknya etnis tionghoa menguasai segala aspek ekonomi di Kota Pematangsiantar, di Jl. Sutomo dan Jl. Merdeka yang merupakan sentral perkotaan di kota Pematangsiantar, di dominasi oleh etnis Tionghoa. Hal tersebut juga dapat berdampak pada potensi konflik sosial ekonomi di Kota Pematangsiantar, meskipun bukan merupakan kepastian tetapi patut untuk diantisipasi dengan program-program pemerintah dalam pemerataan perekonomian atau dengan konsep yang berkeadilan.
Potensi Konflik Politik dan Budaya
Menurut Aristoteles bahwa defenisi politik adalah upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Sedangkan menurut Edward Burnett Tylor kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Keberagaman suku, agama, ras dan golongan di Kota Pematangsiantar merupakan keunikan tersendiri di kota ini. Oleh karena itu potensi konflik politik dan budaya merupakan sebuah keniscayaan, dikarena setiap suku, agama, ras dan golongannya memiliki egois identitasnya masing-masing, meskipun hingga saat ini seakan kondisi ini tidak memiliki potensi konflik.
Jika kita telisik lebih dalam lagi, kota Pematangsiantar menurut penulis sangat rentan dengan konflik SARA, dikarenakan homogennya kota ini. Suatu ketika perbedaan pilihan politik bisa saja berpotensi kepada konflik, begitu juga dengan kebudayaan yang suatu ketika dapat melahirkan konflik dengan membawakan ego sektoral kesukuannya atau identitas kelompoknya masing-masing.
Dalam perjalanan kota ini, pada saat pemilihan kepala daerah pada tahun 2015 juga sempat menimbulkan semangat salah satu identitas kelompok dengan pencalonan sebagai calon Wali kota satu-satunya dari kelompoknya, begitu juga dengan fenomena penistaan salah satu suku di kota Pematangsiantar yang menyeret nama orang nomor satu di kota Pematangsiantar.
Contoh ini cukup sebagai pelajaran bagi kita bahwa politik dan budaya juga memiliki potensi konflik di kota kelahiran H. Adam Malik mantan Wakil Presiden Repulbik Indonesia tersebut.
Pada dasarnya tidak ada manusia yang menghendaki di dalam hidupnya terjadi konflik, namun realitas kehidupan membuat kita tidak bisa lepas dari konflik, begitu juga dalam ruang lingkup yang lebih luas, seperti dikota Pematangsiantar, tidak ada yang menghendaki konflik politik dan kebudayaan terjadi, sehingga perlu dibuat menjadi sekala prioritas untuk mentransformasikannya.
Rekomendasi
Dengan memahami pentingnya potensi-potensi konflik yang ada dikota Pematangsiantar, sudah selayaknya seorang Walikota Pematangsiantar kedepannya, mereka yang mampu mengidentifikasi persoalan-persoalan diatas, dikarenakan jika tidak akan berdampak buruk bagi petumbuhan kota pematangsiantar.
Maka Wali Kota Pematangsiantar yang akan datang akan selalu sibuk dengan urusan-urusan konflik yang tidak disadarinya disebabkan ketidak mampuannya mendeteksi potensi-potensi konflik tersebut.
Kita membutuhkan program-program pemerintah kota Pematangsiantar, yang melahirkan relasi sosial yang baik antar masyarakat dan termasuk dengan pemerintah, kemampuan menciptakan program ekonomi yang berkeadilan, menciptakan rasa aman dan nyaman antara suku, agama, ras dan antar golongan dalam kehidupan bermasyarakat di Kota Pematangsiantar.
Salah satu opsi yang dapat menjadi rujukan, dengan lebih mengoptimalkan peranan media cetak atau online, kampus, sekolah, LSM, tokoh agama/ masyarakat dan organisasi masyarakat untuk saling bergandengan tangan mengkampanyekan rasa keharmonisan yang nantinya akan bertujuan pada membangun kota pematangsiantar yang lebih baik.
Penulis:
Fawer Full Fander Sihite, M.Si
(Alumni Pascasarjana UKDW Yogyakarta Jurusan Kajian Konflik dan Perdamaian-Ketua Institute Law And Justice)