ArtikelNews

Plt Wali Kota Menuju Wali Kota

Oleh: Imran Nasution, Alumni Fisip Komunikasi UISU Medan

Judul tulisan di atas jelas berkaitan dengan status Pelaksana tugas (Plt) Wali Kota dengan Wali Kota defenitif. Namun, tujuannya bukan ingin cari udara segar untuk disebar ke delapan penjuru angin hingga akhirnya opini jadi liar.

Judul tulisan di atas bukan untuk menggelitik orang ring satu atau dua, simpatisan, penggembira, “panglima talam” dan orang sok dekat, atau apapun namanya supaya terangsang riang. Karena, setelah defenitif punya fasilitas plus dibanding Plt.

Judul tulisan di atas memang berbau politik karena Wali Kota dipilih sesuai proses politik. Bahkan, pengusulan menjadi defentifif juga berbau politik karena diusulkan legislatif sebagai lembaga politik. Setelah rapat paripurna yang jadwalnya belum jelas, hasilnya diteruskan kepada Gubsu yang telah menyurati DPRD Siantar untuk melakukan paripurna itu.

Biasanya dan sudah biasa, politik memiliki kandungan yang berbeda dengan rahim sebagai wadah pembuahan hasil kerja sama kepentingan berlainan jenis. Sedangkan kandungan, wadah penyemai kepentingan sejenis. Baik kepentingan semusim, kepentingan musim-musiman atau malah kepentingan tingkatkan “nilai tawar”.

Ketika kepentingan masih sama, jalan selalu bergandengan menuju satu tujuan. Tapi, saat kepentingan telah berbeda karena ada menyalakan kompor, jalan bergandengan tak satu tujuan lagi. Sehingga, para badut jadi tertawa meski lakon yang diperankan tidak lucu.

Pada satu kesempatan, Plt Wali Kota dr Hj Susanti Dewayani mengaku tidak punya agenda 100 hari kerja untuk memajukan Siantar. Tapi, kalau status Wali Kota defentif, tentu diketahui bagaimana mewujudkan Siantar “Sehat, Sejahtera dan Berkualitas”, sebagai visi misi yang saat ini masih di atas kertas.
Disebut masih di atas kertas karena belum dituangkan pada Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang disahkan melalui Peraturan Daerah. Paling lambat 6 bulan setelah kepala daerah dilantik. Sesuai amanah UU No 25 Tahun 2004.

Sementara, RPJM adalah arah pembangunan daerah. Membuat arah kebijakan keuangan, strategi pembangunan, kebijakan umum, program dan lintas Organisai Perangkat Daerah (OPD), program kewilayahan disertai rencana kerja dan kerangka pendanaan bersifat indikatif.

Sejatinya, visi dan misi itu berawal dari pilihan kata-kata yang diuntai menjadi kalimat untuk menghiasi lembaran-lembaran harapan. Namun tetap menggambarkan karakteristik Kota Siantar berpenduduk majemuk.

Kemudian, visi dan misi yang katanya harus diterapkan dengan semangat 5S ”Senyum, Salam, Sapa, Sopan dan Santun” itu, tentu tidak sulit diserap Wali Kota yang dispilin ilmunya bukan ilmu politik. Tapi, karena memang lebih dulu didalami, tentu paham bagaimana menindaklanjutinya.

Untuk itu, Wali Kota wajib mempersiapkan pejabat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang mampu bersinergis dengan sesama agar koordinasi tidak kendor. Sehingga apa yang sudah ditargetkan juga tidak molor.
Artinya, jangan Wali Kota sudah tekan gas, OPD masih parkir. Bahkan parkir di lokasi terlarang. Sementara, visi dan misi itu harus berada di tanah tempat berpijak. Tidak melayang di awang-awang bagai layangan putus benang hingga akhirnya jatuh ke laut tak bertepi.

Tapi, seindah atau semerdu apa visi misi disuarakan dari atas mimbar, kaum marginal yang banting tulang, peras keringat sampai kelat demi sejengkal perut, terlalu awam memahami atau mengerti visi dan misi itu dari A sampai Z.

Kaum marginal yang memilih Wali Kota melawan kotak kosong itu, tak perlu pula mengetahui teori apa dan bagaimana managemen Wali Kota bersama pejabat OPD menyelesaikan masalah Siantar tanpa masalah, seperti tagline Pegadaian.

Sehingga, Wali Kota mampu mendiagnosa penyakit atau wabah apa yang menggejala di Siantar. Selanjutnya, tidak akan salah suntik mengobati demam karena bisul. Tidak salah resep kepada yang kepalanya pening karena linglung.

MELAWAN LUPA

Visi dan misi akan mengecewakan kalau hanya di ujung lidah. Sebab, “Sehat, Sejahtera dan Berkualitas”, juga milik kaum margial. Bukan hanya milik pejabat, orang ring satu atau dua Wali Kota, simpatisan, penggembira, “panglima talam” dan orang sok dekat, atau apapun namanya yang butuh diperhatikan.

Lantas, sangat bersahaja apabila Plt disegerakan menjadi defenitif meski semua perlu lobi sebagai seni berpolitik agar sampai pada pantai harapan. Sehingga, Wali Kota yang tidak anti kritik, tidak mengayuh bahtera sendirian. Tetapi, punya pasangan untuk sharing mencari solusi ketika menghadapai masalah. Apalagi di pemerintahan, ada Kursi Satu dan ada Kursi Dua.

Namun, dari mana pun sosok yang akan menduduki Kursi Dua itu datang, pastinya harus sederap dalam melangkah dengan yang duduk di Kursi Satu. Sejajar atau seiring seperti rel menuju satu arah tujuan agar tidak dingklang.

Artinya, jangan Wali Kota makan cempedak, Wakil Wali Kota malah makan nangka yang getahnya mengenai rakyat sebagai anak kandung Wali Kota pada Pilkada lalu. Sedangkan Wakil Wali Kota adalah “bapak angkat” rakyat yang pemilihannya didelegasikan melalui DPRD sebagai lembaga legislatif.

Plt Wali Kota wajar segera defenitif. Sehingga dapat menggunakan dana bersifat indikatif untuk mengekspresikan berbagai program startegis demi kepentingan rakyat sebagai “anak kandung”, Tapi, kalau demi kepentingan lain di luar visi dan misi, perlu diingatkan bahwa jabatan itu adalah amanah, punya batas waktu.

Lantas, sukses atau gagal seorang pemimpinan mewujudkan Siantar lebih baik, pers sebagai pilar keempat demokrasi, akan menulisnya pakai huruf kapital tebal. Menjadi catatan sejarah untuk melawan lupa. Jelas, tegas, gas!

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button