BeritaPekerja.com | Simalungun – Puluhan aktivis dari Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat (AMMA) kembali menggelar aksi unjuk rasa pada sidang yang ke-9 dari Thomson Ambarita dan Jhonny Ambarita. Kedua terdakwa adalah pengurus Lembaga Adat Keturunan Oppu Mamontang Laut (Lamtoras) di PN Simalungun Jalan Asahan Pematangsiantar, Senin (27/1/2020).
Aktivis GMKI Siantar Simalungun Theo Nababan mengatakan “Ini adalah bentuk keprihatinan terhadap masyarakat adat Sihaporas,” ujarnya. Para pengunjuk rasa mengaku kecewa dengan proses penegakan hukum di Simalungun sebab dalam kasus ini masyarakat saja yang diproses hukum. Sementara pekerja TPL yang dilaporkan sampai kini tidak diproses.
“Bagaimana perasaan kalian ini pada kami, yang setiap sidang selalu hadir. Kami tidak sekaya kalian. Pengadilan adalah wakil Tuhan di dunia ini. Tolong beri kami keadilan. Kami ingin Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita dibebaskan,” ujar Theo.
AMMA menuntut agar PN Simalungun membebaskan Jhonny Ambarita dan Thomson Ambarita, dan mendesak Polres Simalungun untuk segera menangkap Humas PT TPL Bahara Sibuea, atas laporan Thomson Ambarita atas penganiyaan yang dilakukan oleh Bahara Sibuea selaku Humas PT Toba Pulp Lestari (TPL)
Adapun sidang ke-9 ini dengan agenda mendengarkan keterangan saksi, di mana terdakwa Jonny Ambarita bertindak sebagai saksi untuk Thomson Ambarita dan sebaliknya.
Aliansi Mahsiswa dan Masyarakat Adat (AMMA) terdiri atas masyarakat adat Sihaporas (Lamtoras), Perhimpunan Mahasisiwa Katholik Republik Indonesia (PMKRI)) Pematangsiantar, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Pematangsiantar-Simalungun, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Pematangsiantar, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak.
Dalam aksi tersebut para massa aksi membawa keranda hitam, sebagai bentuk matinya keadilan bagi masyarakat adat Sihaporas.
Massa dalam orasinya mengatakan, ”kami akan tetap mengawal persidangan ini hingga selesai. Kami meminta PN Simalungun selaku lembaga peradilan agar bertindak objektif, mandiri, dan bebas dari intervensi dari pihak mana pun, terutama pihak-pihak yang ingin mencederai keadilan.“
Aksi yang dilakukan oleh AMMA bukanlah yang pertama kali dilakukan. Hampir seluruh proses persidangan, bahkan sejak penangkapan dan kriminalisasi kepada aktivis-pejuang masyarakat adat oleh Polres Simalungun aksi selalu dilaksanakan.
AMMA memprotes tindakan dugaan berat sebelah dan tidak profesional oleh penyidik sebab yang ditangkap hanya pihak warga, sedangkan Bahara Sibuea selaku pemicu bentrok dan terduga pemukul warga belum tersentuh hukum.
“AMMA konsisten melakukan aksi. Di mana yang menjadi akar permasalahan ini bermula saat masyarakat Sihaporas menanam jagung di tanah yang mereka yakini adalah tanah adat alias tanah leluhur mereka,” ujar Alboin Samosir, Aktivis PMKRI Cabang Pematangsiantar disela unjuk rasa.
“Namun, saat proses menanam berlangsung pihak Toba Pulp Lestari (TPL) berusaha menghalangi warga sehingga terjadi proses saling pukul,” tambahnya
Thomson dan Jonny ditangkap dan ditahan Polres Simalungun sejak 24/09/2019 lalu. Sepekan sebelum penangkapan, Senin (16/9/2019), terjadi bentrok ratusan orang masyarakat dari Lamtoras kontra pekerja PT Toba Pulp Lestari di Buntupangaturan Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Lokasi kejadian adalah arena konflik agraria antara masyarakat adat dengan Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang menyerahkan tanah adat kepada pihak swasta, PT TPL.
Massa meminta agar Ketua Pengadilan Negeri Simalungun agar datang menemui para demonstran untuk mendengarkan keluh kesah masyarakat adat Sihaporas.
Namun pihak pengadilan menolak sehingga sempat terjadi cekcok antara demonstran dengan pihak kepolisian. Setelah melalui proses diskusi, akhirnya, perwakilan pengunjuk rasa menemui Ketua PN Simalungun.
Dalam pertemuan dengan Ketua Pengadilan, para perwakilan menyampaikan apa yang menjadi landasan utamanya, mengapa mereka senantiasa melakukan aksi di setiap persidangannya.
Alboin Samosir yang menjadi perwakilan dalam pertemuan tersebut menyampaikan, ”Kehadiran kami di sini bukan dalam rangka mengintervensi persidangan.Kami hadir memastikan proses persidangan dengan baik, benar dan tidak menciderai rasa keadilan masyarakat,”ujarnya
Dia juga menambahkan, majelis hakim yang sedang menangani perkara Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita agar bertindak sesuai dengan hati nurani, bersikap indipenden, objektif, dan bebas dari intervensi pihak manapun. Hakim juga harus mampu mengggali dan menemukan rasa keadilan dalam kasus ini sesuai dengan amanat UU Nomor 49 Tahun 2008 Tentang Kehakiman.
Ketua PN Simalungun Abdul Hadi Nasution SH MH menyampaikan, agar persidangan dipantau semua pihak.”Apabila ada proses hukum yang menyimpang dalam perkara Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita agar segera dilaporkan kepada saya,” kata Abdul Hadi.
Hadi juga mengatakan,” proses hukum ini akan berjalan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku yang artinya akan bertindak mandiri, objektif dan indipenden.”
Hadi terbuka dengan hadirnya Komisi Yudisial dalam perkara ini akan menjamin proses persidangan hingga putusan berjalan dengan baik dan lancar.
Hadirnya Komisi Yudisial tidak terlepas dari permohonan yang diajukan oleh para pengacara terdakwa dari Bakumsu Medan, selaku pendamping kedua terdakwa.
Dengan harapan Komisi Yudisial selaku lembaga pengawas hakim dapat menjadi perhatian bagi pihak Pengadilan Negeri Simalungun terutama Majelis Hakim yang sedang menangani perkara ini.
Advokat Perhimpunan Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) Ronald Safriansyah sekaligus penasihat hukum kedua terdakwa mengatakan, Komisi Yudisial Perwakilan Sumatera Utara memantau persidangan Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita. “Komisi Yudisial datang ke persidangan pada Senin, 20 Januari,” ujar Ronald.
Saat informasi mengenai kehadiran personel KY memantau persidangan dugaan kriminalisasi pejuang masyarakat adat ini, Ketua Komisi Yudisial Yaya Ahmad Jayus mengatakan, “Tolong cek dibagian pemantauan. Saya sedang rapat.” katanya
Penjelasan Kapolres terkait desakan aliansi masyarakat agar penyidik menangkap Bahara Sibuea sebagai tersangka atas dugaan pemukulan terhadap Thomson Ambarita dan bayi 3 tahun 7 bulan, Mario Teguh Ambarita, pada saat bentrok, kepolisian menyatakan tidak kuat bukti.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Resort Simalungun Heribertus Ompusunggu mengatakan, kepolisian menerima dua pengaduan terkait bentrok pada 16 September 2019 antara masyarakat dengan pekerja PT TPL.
Laporan masyarakat adat Sihaporas yakni perihal pemukulan yang dilakukan oleh Bahara Sibuea terhadap Thomson Ambarita dan seorang anak brusia 3 tahun 7 bulan bernama Mario Teguh Ambarita.
“Laporan masyarakat itu tidak terbukti. Sudah dicek ke dokter. Tidak ada bukti penganiayaan dan kekerasan kepada masyarakat,” ujarnya kepada wartawan, pekan lalu.
Sedangkan laporan yang dilakukan TPL menurut Kapolres, penyidik menemukan adanya kekerasan dan penganiayaan dialami karyawan PT TPL (*)