BERITAPEKERJA.COM|JAKARTA – Di usia Indonesia yang menginjak 75 tahun seharusnya elemen bangsa tidak perlu memperdebatkan Pancasila sebagai ideologi. Pernyataan ini disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Sunanto dalam webinar dengan topik “Menjaga Pancasila Dari Bahaya Propaganda Komunis, Orde Baru, dan Khilafah”, Kamis (16/7).
Alasannya, memperdebatkan Pancasila justru rentan menimbulkan perpecahan bangsa.
“Bagi kami Muhammadiyah, dasar negara sudah final. Namun tantangan kita saat ini bagaimana kita membangun Negara yang berkemajuan. Maka kita jangan menjebak Pancasila dalam birokrasi Pancasila,” katanya.
Menurut Cak Nanto, sapaan akrabnya, Pancasila harus masuk dalam ruang budaya dan sosial di masyarakat. Dengan demikian, Pancasila akan menjadi karakter kebudayaan bangsa Indonesia.
“Pancasila harus masuk dalam karakter kebudayaan dan semua pembelajaran-pembelajaran di segala lini. Kita harus mulai melihat kedaulatan dan kemajuan serta sudahi segala diskursus tentang Pancasila, jika tidak kita akan terlena dan bangsa kita dikuasai oleh orang lain,” kata Cak Nanto dalam acara Webinar yang digagas Forum Komunikasi Santri Indonesia ini.
Ketua Umum Perkumpulan Gerakan Kebangsaan Bursah Zarnubi berpandangan bahwa Pancasila sebagai filosofi dan Pancasila sebagai bagian dalam menjaga keragaman suku, agama, dan elemen lainnya.
Menurut Bursah, Pancasila sebagai platform kesamaan pandangan yang sudah final, menjadi komitmen bersama, menjadi rumah besar, dan tidak boleh terjebak pada problematika formalitas.
“Saat ini ada adu domba dari kepentingan orang yang ingin mengeksploitasi bangsa ini. Menurut saya generasi muda jangan terlibat dengan pandangan seperti itu, karena beban besar menanti generasi muda. Maka seharusnya anak-anak muda harus lebih memikirkan Pancasila pada nilai sosial-ekonomi dan mengimplementasikannya dalam kehidupan lainnya,” pungkasnya.
Dalam diskusi yang sama, Sekretaris Umum DPP GAMKI Sahat Martin Philip Sinurat menyampaikan di umur kemerdekaan Indonesia yang akan memasuki usia 75 tahun, topik pembahasan Webinar seharusnya tidak lagi tentang bagaimana menjaga Pancasila.
“Seharusnya kita saat ini membahas bagaimana membumikan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, bahkan lebih jauh lagi, memperkenalkan dan mempromosikan Pancasila kepada negara-negara lain di dunia,” katanya.
Sahat menceritakan pengalaman tiga kali diundang ke luar negeri, yakni ke Sri Lanka, Mesir, dan China.
“Dalam tiga kesempatan ini, saya menjelaskan tentang Pancasila kepada para pemuda dari mancanegara. Mereka heran kenapa Indonesia yang majemuk dapat bersatu. Saya menjawabnya, karena Indonesia sepakat pada dasar negara yaitu Pancasila,” ujarnya.
Sayangnya, lanjut Sahat, isu Pancasila saat ini dijadikan sebagai komoditas politik saja di antara para elit-elit politik dan elemen lainnya. Padahal harusnya semua pihak membicarakan penerapan Pancasila, terkhusus kepada generasi milenial, generasi Z, dan generasi Alpha.
“Kita harus melihat bagaimana nasib peradaban bangsa Indonesia ke depannya. Kita harus menjadikan Indonesia sebagai negara semua untuk semua. Bahwa petani, nelayan, buruh, guru, pegawai, pengusaha, politisi, semuanya seharusnya sama-sama memiliki Indonesia, merasakan keadilan dan kesejahteraan,” tegasnya.
Sahat memandang dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah dasar negara yang paling tepat di tengah bangsa yang majemuk, bukan paham-paham komunis, khilafah, liberalis, ataupun cara-cara pengelolaan negara seperti masa Orde Baru.
“Saat ini kita menghadapi liberalisasi yang banyak menguntungkan pemilik modal. Padahal kebijakan yang inklusif dan tidak diskriminatif harus juga dirasakan oleh masyarakat kecil. Saya apresiasi pemerintahan Pak Jokowi yang memberikan stimulus UMKM di masa pandemi ini. Stimulus UMKM adalah salah satu perwujudan dari Pancasila, yakni memberikan keadilan bagi rakyat Indonesia,” pungkas mantan Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI ini.
Dalam Webinar itu, juga dihadiri oleh Ketua Umum Jamiyyah Qurro’wal Huffadh (JQH) Nahdlatul Ulama Saifullah Maksum, Bendahara Umum KNPI yang juga mantan Ketua Umum DPP GMNI, Twedy Noviady Ginting, dan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid.