BeritaPekerja.Com|Jakarta – Pasca terjadinya penggusuran paksa dan tindakan represif terhadap masyarakat Adat Besipae, Kabupaten Timur Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. KaliĀ ini Masyarakat Adat Kinipan, Lamandau, Kalimantah tengah turut menjadi korban dari pembangunan yang tidak berkeadilan.
Effendi Buhing selaku ketua komunitas adat disana dalam keterangan tertulisnya kepada BeritaPekerja.Com, Minggu (30/08/20) mengatakan” Dikriminalisasi oleh pihak swasta dengan tuduhan melakukan pencurian, pemaksaan, dan perampasan.
Ini hanya beberapa kejadian yang masih mencuat ke permukaan karena dibeberapa daerah masih banyak lagi komunitas masyarakat adat yang membutuhkan pengakuan dan perlindungan dari negara,” katanya
Hal ini tentu saja bertentangan dengan amanat konstitusi yang terdapat pada pasal 18B ayat (2) yang menegaskan, “Negara mengakui dan mneghormati kesatuan masyarakat hukum adat besrta hak-hak tradisionalnua sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang,”sebutnya
Menurutnya, proses implementasi amanat konstitusi ini berjalan terbalik dengan realita yang ada. Selain 2 kejadian diatas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sepanjang Januari hingga awal Desember 2019 setidaknya 51 anggota masyarakat adat menjadi korban kriminalisasi dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat Ada 279 konflik agraria di Indonesia 87 diantaranya berada di wilayah adat.
Maraknya konflik yang dialami Masyarakat Adat berjalan searah dengan minimnya pengakuan hutan adat. Badan Registrasi wilayah adat mencatat sampai Agustus 2020 ada 863 peta wilayah adat dengan luas mencapai 11,09 juta hektar.
Dari keseluruhan wilayah tersebut baru 1,5 juta hektar yang sudah ditetapkan dan memperoleh pengakuan dari pemerintah.
Selain sudah dilindungi haknya oleh konstitusi beberapa undang-undang sektoral juga sudah mengakomodir terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Namun peraturan perundang-undangan ini masih saling bertentangan satu sama lain dan tidak mengatur secara komprehensif terkait Masyarakat Adat.
Akibatnya, semakin mengaburkan usaha-usaha dan perjuangan masyarakat adat untuk diakui hak-hak konstitusionalnya.
“Jalan panjang pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat tidak akan berlarut-larut seperti ini jika saja Pemerintah dan DPR mau mengesahkan RUU Masyarakat adat yang sudah tertunda sejak 2009 silam,”ujar Effendi
Berdasarkan hal diatas Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PP PMKRI) mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mensahkan RUU Masyarakat Adat ini, karena diyakini dengan adanya Undang-Undang ini mampu menyelesaikan konflik yang dialami masyarakat adat, sekaligus mempercepat pengakuan dan perlindungan hutan adat.
Disahkannya Rancangan Undang-undang ini merupakan wujud dari Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, yang memisahkan antara hutan negara dengan hutan adat.
Alboin Samosir, selaku Ketua Lembaga Agraria dan Kemaritiman PP PMKRI mengatakan,”Selain memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat, disahkannya rancangan undang-undang ini merupakan wujud apresiasi dan terima kasih negera terhadap Masyarakat Adat yang selama ini masih memegang teguh nilai-nilai luhur kebangsaan dan berjuang mencegah deforestasi yang kian marak terjadi,”tuturnya
“Selain itu, rancangan undang-undang Masyarakat Adat ini akan mengingatkan kita sebagai bangsa yang betul-betul beradab dan berbudaya. Karena dengan diakui dan dilindunginya masyarakat adat, sesungguhnya kita sedang menyelamatkan bangsa ini dari infiltrasi budaya dan ideologi asing yang bersifat destruktif,”tutup Alboin dengan tegas. (Red)