BeritaPekerja.Com-
Terik matahari dan aroma tak sedap menusuk hidung dari setiap penjuru. Para pemulung sibuk mengais di bukit sampah. Ketika truk sampah antre dan para pemulung siap untuk mencari rezeki. Sampah bagi mereka seperti harta karun.
Turun menyusuri tumpukan-tumpukan berbau dari bukit sampah yang berada di Tempat Pembuangan Sampah Terakhir (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Merdeka.com mencoba menemui Warsih, ketika turun dari bukit sampah. Dengan menggunakan kaos berwarna ungu yang sudah pudar, celana panjang bermotif bunga, topi untuk menutupi sinar matari. Masker dari sebuah kain untuk menutupi penciumannya dari bau busuk serta kaos kaki menjadi alas.
Ketika dihampiri, Warsih hendak pulang ke rumahnya. Rupanya Warsih sudah ditunggu suaminya, Uding (60). Lelaki tua yang sudah tidak kuat untuk berjalan itu juga berprofesi sebagai pemulung. Warsih dan Uding pulang menggunakan sepeda motor. Tempat tinggalnya tidak jauh dari bukit sampah tempat biasa mereka mengais rezeki.
Kehidupan para pemulung di TPST Bantargebang merdeka.com
Sekitar 5 menit jarak yang ditempuh Warsih berjalan kaki menuju rumahnya dari Bantargebang. Ketika sampai di pemukiman pemulung, para ibu-ibu sudah duduk santai tak beralaskan apapun sambil memilih hasil pulungan seharian di Bulog. Gerobak tua serta karung-karung yang berisi barang hasil pilihan pun sudah berjejer rapih untuk ditimbang. Anak-anak pun tak jarang untuk membantu para para Ibunya.
Aktifitas itu terlihat di pemukiman lingkungan tempat tinggal Warsih dan Uding, di Gang Nacem, Kelurahan Ciketing, Sumur Batu RT 02/01, Kecamatan Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat tak jauh dari TPST Bantargebang. Kata Warsih, setiap sore ibu-ibu di sini memilah hasil pulungan mereka.
“Ini mah bukan rumah, gubuk,” ujar Warsih sambil membuka tirai pengganti pintu rumahnya kepada Merdeka.com beberapa waktu lalu.
Mereka rata-rata tinggal di gubuk berukuran 1×4 meter, berdinding triplek lapuk, beralas dan beratap terpal atau kain spanduk. Jika hujan turun tak cuma bocor, tapi banjir pun dialami Warsih dan pemulung-pemulung lainnya di pemukiman pemulung tersebut.
Kehidupan para pemulung di TPST Bantargebang 2016 Merdeka.com
“Ya kalau bocor mah udah pasti. Namanya juga pakai terpal. Banjir ya udah biasa kebanjiran. Di dieu yeuh mun hujan, gusti ember pabalatak (Di sini kalau hujan ember berantakan),” kata Warsih sambil menunjuk letak bocor di rumahnya.
Kamar mandi pun dibuat darurat. Terdapat dua kamar mandi. Penutup kamar mandi hanya tirai bekas yang sudah lapuk. Papan penggilasan cuci baju juga hanya satu dan dipakai untuk bersama. Hanya ada bak mandi yang terbuat dari bak bekas. Airnya pun sudah tak layak untuk mandi dan mencuci lantaran sudah mengandung zat besi. “Kalau jam 4 pagi di sini ramai, pada berebutan buat mandi sama nyuci baju,” kata Warsih sambil tertawa.
Di tempat itu ada 10 Kepala Keluarga yang tinggal dengan kondisi serupa. Seperti bilik atau tenda darurat. Warsih dan seluruh penghuni gubuk-gubuk itu merupakan pendatang yang bekerja sebagai pemulung di Bantargebang. Kebanyakan mereka berasal dari Karawang, Jawa Barat. Tidak jauh memang dari Bantargebang.
Tapi ada juga pemulung yang berada dari tempat jauh, misalnya dari Madura, Jawa Timur. Ada pula pemulung yang merupakan warga setempat. Tapi mereka tidak tinggal gubuk-gubuk seperti Warsih dan Uding. Rata-rata mereka menempati rumah yang lebih layak ditinggali.
Kata Warsih, satu pemukiman tempat tinggal terdiri dari 10 sampai 11 KK yang berada dalam satu koordinator dan bos pemulung. “Ini semuanya satu bos. Adik saya salah satunya koordinator di sini,” jelas Warsih yang baru bekerja sebagai pemulung kurang lebih 2 tahun.
Kehidupan para pemulung di TPST Bantargebang 2016 Merdeka.com
Kata Warsih, gubuk-gubuk tempat tinggal para pemulung ini merupakan pemberian dari masing-masing bosnya. Para pemulung hanya diberikan lahan seharga Rp 2 juta untuk dibuat gubuk-gubuk. Para pemulung ini tak hanya tinggal berdua bersama suami dan istri, tetapi ada yang sudah 10 tahun tinggal di sana dan beranak pinak bahkan sudah ada yang mempunyai cucu.
Rahmat (40) yang merupakan kakak ipar dari Warsih, sudah tinggal 10 tahun lebih jadi pemulung dan hidup di gubuk. Rahmat bersama istrinya Yayah (39) merupakan adik dari Warsih. Rahmat dan Yayah mempunyai 4 anak dan yang paling kecil masih bersekolah di Sekolah Menengah Pertama. Selama 10 tahun tinggal dalam gubuk di daerah penuh sampah bagi Rahmat sudah biasa. Berbagai penyakit silih berganti datang.
“Sudah biasa kena penyakit mah, saya udah bolak-balik rumah sakit. Penyakit tipus ya begitulah. Kita kan butuh uang jadi ya tetep tinggal di sini,” kata Rahmat sambil berseloroh.