BeritaPekerja.Com | Jakarta – Aksi demonstrasi terkait protes pertambangan maupun kawasan industri nikel berujung jerat hukum terhadap aktivis perempuan, Cristina Rumalatu. Aktivis lingkungan ini menerima panggilan dari Badan Reserse Kriminal Polri, Direktorat Tindak Pidana Siber, pada tanggal 27 Agustus 2024 lalu atas tuduhan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Aksi bersama koalisi organisasi masyarakat sipil antara lain; Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Enter Nusantara, Front Mahasiswa Nasional, dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur untuk menyoroti dampak lingkungan dari operasi tambang, terutama banjir di Halmahera.
Sebelumnya aksi ini dipicu adanya banjir bandang di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur 21-24 Juli 2024, dengan ketinggian air mencapai tiga meter. Banjir sampai mengisolasi dan melumpuhkan sejumlah desa di sekitar operasi IWIP. Sekitar 1.700 warga terpaksa mengungsi.
Saat aksi di depan Kantor IWIP, Letnan Jenderal (Purn.) Suaidi Marasabessy, yang juga berkantor di gedung yang sama dengan IWIP, menanggapi aksi para demonstran dengan mengatakan masalah ini telah dikoordinasikan dengan Bupati.
Pernyataan ini justru memicu kekesalan massa, yang kemudian meneriaki dengan menyebut pensiunan jenderal tak berguna.
Beberapa hari setelah aksi Kristina mendapat surat panggilan dari Bareskrim Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pada panggilan pertama tidak disertakan dengan keterangan pelapor sehingga dinilai cacat formil.
Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat PMKRI, Raymundus Yoseph Megu berpendapat bahwa laporan terhadap Cristina merupakan pembungkaman terhadap aktivis.
“Apa yang telah disampaikan Kristina dan kawan- kawan merupakan hal yang wajar seperti demonstaran pada umumnya, namun laporan yang dialamatkan kepada Kristina sepertinya sudah merupakan pembungkaman terhadap aktivis,” ujar Raymundus kepada Berita pekerja.Com, Kamis, 12/09/2024.
Raymundus menambahkan, hak untuk menyampaikan pendapat di Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
“Bahwa Indonesia sebagai negara demokratis sudah seharusnya menghormati aspirasi yang di sampaikan oleh masyarakatnya dan tidak boleh juga langsung mempidanakan masyarakatnya, karena jika hal itu terjadi maka negara sedang mempertontonkan degradasi demokrasi di indonesia,” tegas Raymundus
Terpisah, Ketua Lembaga Ekologi dan masyarakat adat Pengurus Pusat PMKRI, Mario Mere berpendapat bahwa Pulau Halmahera merupakan pulau terbesar di gugusan Kepulauan Maluku yang terletak di Provinsi Maluku Utara dan memiliki kekayaan keanekaragaman hayati hutan lainnya.
“Kekayaan keanekaragaman hayati di hutan Halmahera juga memberikan banyak manfaat yang dapat mensejahterakan perekonomian masyarakat, salah satunya dari melimpahnya komoditas hasil hutan yang luar biasa seperti kelapa, pala, cengkeh, dan kayu,” kata Mario
Selain itu, Pulau Halmahera juga memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah dalam bidang pertambangan mineral. Terdapat beberapa jenis bahan galian atau tambang bernilai tinggi di pulau Halmahera salah satunya yaitu nikel.
Kerusakan lingkungan di sekitar wilayah pertambangan Halmahera sebagian besar disebabkan oleh kurangnya peraturan mengenai pengelolaan dan solusi pasca tambang.
“Pemerintah Provinsi Maluku, melalui situs resmi mereka, menjelaskan bahwa salah satu efek dari kegiatan tambang yang tidak ramah lingkungan adalah adanya lubang tambang di area reklamasi. Masalah ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan lainnya, seperti banjir, tanah longsor, dan pencemaran sungai akibat sedimentasi,” pungkas Mario