Artikel

Derita Pekerja Outsourcing Di Indonesia

Outsourcing bagi para buruh adalah bentuk praktek perbudakan di era modern dan bentuk perdagangan manusia terutama outsourcing penyedia jasa pekerja/labor supply.

Para pekerja outsourcing tidak mempunyai kendali atas dirinya, dijual dari satu majikan ke majikan lainnya.

Istilah outsourcing sebenarnya tidak ada di dalam UU Ketenagakerjaan No.13/2003 Tentang Ketenagakerjaa yang dianggap sebagai biang keroknya maupun di Permen 19/2012 sebagai aturan turunannya.

Di dalam Pasal 64 UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan, outsourcing diartikan sebagai “penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain”

Melalui :
(1). Pemborongan pekerjaan.
(2) Penyediaan jasa pekerja/ buruh atau labor supply.

Kedua jenis outsourcing tersebut sebenarnya diberlakukan persyaratan yang diatur dalam pasal 65 dan pasal 66 UU 13/2013 serta Permen 19/2012.

Namun lemahnya penegakkan aturan di Indonesia, aturan hanya tinggal aturan saja.

Persyaratan outsourcing pemborongan pekerjaan :

1. Dilakukan terpisah dari kegiatan utama
2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja
3. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
4. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Selain itu :
1. Perusahaan Penerima pemborongan pekerjaan harus berbadan hukum.
2. Perlindungan kerja, syarat syarat kerja bagi buruh di perusahaan penerima pemborongan pekerjaan sekurang kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat syarat pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan yg berlaku.

Hanya saja, aturan diatas menjadi bias ketika aturan permen 19/2012 menyatakan bahwa alur produksi terkait sebuah pekerjaan masuk kategori penunjang atau tidak kemudian ditetapkan oleh “asosiasi sektor usaha” yang berisi para pimpinan perusahaan, tanpa melibatkan organisasi pekerja atau pemerintah.

Efeknya, kini banyak jenis pekerjaan yang sesungguhnya masuk kategori pekerjaan bukan penunjang yang sesungguhnya tidak boleh dioutsourcing, kini tiba tiba menjadi boleh akibat tafsir menyesatkan dari asosiasi perusahaan sektor usaha.

Sedangkan persyaratan bagi outsourcing labor supply sebagaimana diatur dalam pasal 66 UU 13/2003 adalah :

1. Buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi kecuali nuntuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

2. Adanya hubungan kerja pekerja/ buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja.

3. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat merta serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan jasa pekerja.

4. Perusahaan penyedia jasa pekerja harus berbentuk badan usaha dan badan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang Jetenagakerjaan.

Dalam tafsir penjelasan UU 13/2003 bahwa jenis pekerjaan yang masik kategori bisa di outsource ( jasanya) hanya lima jenis, yakni : (1) Cleaning Service, (2). Keamanan /security, ( 3) Driver/sopir, (4) Catering, (5) Jasa penunjang di pertambangan.

Lantas apa derita /permasalahan di lapangan yang dialami para pekerja/buruh outsourcing ?

Setidaknya ada 4 hal utama yakni :

1.Mendapat dikriminasi upah dengan pekerja tetap di perusahaan pemberi kerja. Kadang, walau ia bekerja di bagian yang sama dengan pekerja tetap, namun gajinya bisa berbeda jauh dengan gaji pekerja tetap.

2. Mendapat diskriminasi jaminan sosial dengan para pekerja tetap di perusahaan pemberi kerja, umumnya kualitas jaminan kesehatan. Bila para pekerja tetap mempunyai pelayanan kesehatan yg extra terutama di perusahaan perusahaan besar (perusahaan telekomunikasi, otomotif dll) namun buruh/ pekerja outsourcing hanya mendapatkan pelayanan jaminan kesehatan standar.

3. Tidak mempunyai kepastian kerja, karena bisa di PHK kapan saja oleh pemberi kerja. Permasalahan ketidakpastian kerja yang menyebabkan pekerja/buruh outsourcing kehilangan pekerjaan kapan saja adalah permasalahan yang paling berat.

Bagi sebagian besar buruh, ter phk atau kehilangan pekerjaan seperti mengalami kiamat kecil karena efek dari phk sepihak tanpa pesangon/pesangon murah berdampak panjang bagi buruh dan keluarganya.

4. Tidak adanya kejelasan hubungan industrialnya yang menyebabkan terombang ambingnya nasib para buruh outsourcing.

Satu sisi secara hukum pekerja/buruh outsourcing dibawah perusahaan penyedia jasa namun pada satu sisi, yang memberi pekerjaan dan memberi upah sesungguhnya dari perusahaan pemberi kerja.

Dan perusahaan penyedia jasa pekerja seringkali tak berdaya ketika dituntut kesejahteraan oleh pekerja/buruh outsourcing.

Di sebagian tempat, perusahaan penyedia jasa pekerja ini di kelola oleh “mafia”, dimana perusahaan outsourcingnya dimiliki oleh para mantan pejabat/pimpinan perusahaan yang bekerja sama dengan pihak pihak terkait. Atau bahkan tidak sedikit yang dikelola oleh koperasi karyawan yang nota benenya dimiliki oleh pekerja juga.

Masalah Psikologi..
Secara psikologi para buruh outsourcing juga mengalami masalah, karena pekerja outsourcing ini di sebut bukan “anak kandung” didalam perusahaan pemberi kerja. Pekerja outsourcing identik dengan anak titipan atau anak pungut yang kemudian dianggap pantas mendapat perlakuan yang berbeda dari sang” orang tua”.

8. Rekomendasi pembenahan Outsourcing terkait sedang dibahasnya Revisi Permen 19/2012 & wacana Revisi UU 13/2003.

I. Jangka pendek ( th 2015):
1. Revisi permen 19/2012 yang menjadi biang kerok permasalahan outsourcing saat ini terutama bagi para pekerja outsourcing BUMN.

2. Pemerintah harus melakukan moratorium /stop penerimaan pekerja outsourcing, kemudian di verifikasi seluruh perusahaan outsourcing dan di check bagaimana kesejahteraannya dan perjanjiannya.

3. Berlakukan secara ketat tentang persamaan hak kesejahteraan yang diterima oleh para pekerja outsourcing. Dimana upah, jaminan sosial, kondisi kerja serta kepastian kerja yang diperoleh sama dengan apa yg diterima para pekerja di tempat pemberi kerja.

4. Angkat para pekerja outsourcing menjadi pekerja tetap di perusahaan pemberi kerja terutama perjanjiannya yang melanggar aturan.

5. Cabut ijin perusahaan outsourcing yang melanggar ketentuan UU 13/2013

6. Pimpinan DPR harus membuat Raker gabungan menindaklanjuti hasil panja Outsourcing BUMN yang telah merekomendasikan diangkatnya para pekerja outsourcing BUMN.

II. Jangka Menengah :

7. Revisi UU 13/2013 dengan :
a. menghapus outsourcing penyedia jasa pekerja/buruh
b. Membatasi outsourcing pemborongan pekerjaan boleh dilakukan di luar area perusahaan pemberi kerja.
c. Kenakan sangsi yang tegas baik berupa pencabutan ijin usaha atau sangsi pidana.

8. Pemerintah harus memberlakukan kebijakan jaminan pengangguran sesegara mungkin, baik dimasukkan dalam UU SJSN atau melalui kebijakan khusus agar para pekerja outsourcing yang rentan terphk atau putus kerja masih mendapatkan kepastian upah akibat phk yg dialami.

Penutup :
Sudah saatnya kita semua konsisten untuk menghilangkan praktek outsourcing manusia yang merupakan bentuk perbudakan modern dan perdagangan manusia.

Para buruh dan aktivis buruh harus menjadi garda terdepan dalam perjuangan penghapusan outsourcing. Jangan ada lagi koperasi karyawan yg mengelola bisnis outsourcing. Tidak pantas dan tidak manusiawi jika kopkar masih menjalankan bisnis outsourcing.

Sungguh ironi jika para aktivis buruh membiarkan kopkar yang dimiliki oleh para buruh menindas para buruh. Juga ironi jika lembaga lembaga sosial kemasyarakatan masih menjalankan bisnis outsourcing.

Nggak ada alasan apapun saat ini membenarkan pelaksanaan outsourcing terutama outsourcing orang/labor supply. Termasuk komitmen para penyedia jasa pekerja untuk memberikan kesejahteraan yang maksimal.

Problem buruh outsourcing itu bukan hanya di perusahaan penyedia jasa pekerja, bahkan sesungguhnya permasalahan yang utama ada di.perusahaan pemberi kerja sehingga lebih baik adalah hapuskan outsourcing terutama outsourcing labor supply.

Pemerintah sebagai regulator, seharusnya memberikan contoh yang baik, bukan malah membiarkan praktek outsourcing yang bermasalah dinperusahaan perusahaan BUMN . Di perusahaan plat merah saja pemerintah nggak tegas bagaimana dengan perusahaan swasta.

Praktek outsourcing secara gamblang telah melanggar amanah UUD 1945 tentang 4 tujuan utama negara yakni mensejahterakan dan melindungi segenap warga negaranya. Kelihatan sekali dengan maraknya pelanggaran outsourcing, tanda negara abai dan tidak hadir.

Semoga bermanfaat…
Yang benar datangnya dari Allah SWT
Yang salah datang dari penulis….

Muhammad Rusydi Alfatih
13 Agustus 2015

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button