NewsPolitikSosial Masyarakat

Pedih Hati Adnan Aktivis 98: Kawan Hilang, Reformasi Dibajak

Jakarta|BeritaPekerja.com – Gerakan besar mahasiswa yang didukung publik pada tahun 1998 tak sia-sia. Rezim Orde Baru yang otoriter, jatuh. Soeharto membacakan pengunduran diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998.

Namun pascapergantian penguasa hingga saat ini, belum ada jaminan Indonesia berjalan lebih sempurna di segala bidang. Pengekangan kebebasan berpendapat bahkan kembali mengemuka. Padahal 18 tahun telah berlalu sejak Orde Baru runtuh.

“Reformasi direbut para pembajak,” kata Adnan Anwar, eks koordinator lapangan aksi mahasiswa Surabaya 1998, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (20/5).

“Struktur ekonomi-politik masih didominasi oleh kekuatan status quo dan antiperubahan. Elite-elite lama juga masih berkuasa. Perjuangan untuk keadilan masih jauh dari harapan,” ujar Adnan.

Ia merasa cita-cita reformasi belum terwujud, namun mafhum kenapa hal itu gagal. Kala aksi besar mahasiswa berlangsung pada 1998, menurut Adnan, tak ada skema jangka panjang yang ditawarkan untuk perubahan sistem secara menyeluruh.

“Dulu gerakan mahasiswa targetnya jangka pendek, hanya meruntuhkan Orde Baru dan kroni-kroninya. Jangka menengah dan panjang tidak dipikirkan matang-matang,” ujarnya.

Menurut Adnan, dari tujuan reformasi pada 1998, hanya 20 persen yang sudah tercapai. Selebihnya, belum ada perubahan berarti. Hal ini disesalkan Adnan. Belum lagi soal pengusutan hilangnya sejumlah aktivis era 1990-an yang tak kunjung tuntas.

Adnan bercerita, beberapa kawannya hilang tak diketahui rimbanya hingga kini. Mereka yang hilang ini, ujarnya, aktif memperjuangkan pergantian rezim. Adnan nyaris yakin teman-temannya itu kini telah hidup di dunia lain.

Alumni FISIP Universitas Airlangga Surabaya itu lantas menyebut dua dari sejumlah kawannya yang lenyap. “Herman Hendrawan, Bimo Petrus.”

Herman, kenang Adnan, ialah sosok senior di gerakan mahasiswa yang banyak menginspirasinya. “Dia diculik dan kemungkinan dibunuh.”

Bimo Petrus adalah sahabat satu angkatan Adnan di FISIP Universitas Airlangga. “Dia juga diculik dan kemungkinan pun dibunuh.”

Sementara sebagian dari mereka yang dipenjara, ditaklukkan dengan cara dibuat tergantung terhadap narkotik hingga mati perlahan-lahan.

Hilangnya sahabat-sahabat seperjuangan itu meninggalkan luka menganga.

Menuju penggulingan Soeharto

Adnan berkata, semula hanya sedikit mahasiswa yang bertujuan menamatkan Orde Baru. Semua serba ragu, tak satu tekad.

“Civitas akademi dan kekuatan kelas menengah terkesan wait and see. Mereka banyak berhitung tentang berbagai kemungkinan. Rakyat juga ragu-ragu mendukung karena belum paham dengan aspirasi gerakan mahasiswa,” kata alumni anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia itu.

Namun keraguan itu sontak berubah pascatragedi penembakan empat mahasiswa Trisakti dalam demonstrasi menuntut Soeharto mundur di kampus mereka, 12 Mei 1998. Peristiwa di Jakarta itu bagai menuang bensin ke api, ikut mengobarkan semangat juang arek-arek Suroboyo. Tekad pun bulat: Orde Baru mesti dijungkalkan.

Setelah Tragedi Trisakti, aksi masif dilancarkan mahasiswa dan masyarakat Surabaya. Koordinasi dilakukan melalui simpul-simpul strategis di berbagai kampus. Organisasi mahasiswa menjadi kunci koordinasi aksi.

Simpul konsolidasi gerakan kala itu ada di bawah Kelompok Cipayung yang beranggotakan PMII, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonsia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Di Surabaya sendiri terdapat dua gerakan mahasiswa lain di luar Kelompok Cipayung itu, yakni Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), underbow Partai Rakyat Demokratik (PRD). Keduanya punya pengaruh kuat.

“Tiga kekuatan utama gerakan mahasiswa itu (Kelompok Cipayung, FMKS, dan SMID) bersatu, berdemonstrasi untuk menumbangkan Orde Baru,” kata lulusan 1999 itu.

Demonstrasi besar-besaran digelar di pusat keramaian kota. Jalanan Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, dan kota-kota lain, semarak dengan lautan mahasiswa.

Di balik masif gerakan mahasiswa itu, ada jalinan terstruktur. Koordinasi rapi dilakukan masing-masing koordinator lapangan aksi. Komunikasi intensif tak terhalang ketiadaan fasilitas telepon seluler yang belum jamak kala itu.

Koordinasi lintas kota dilakukan dengan mengirim sejumlah kurir dari Surabaya ke Jakarta dan Yogyakarta sebagai pusat gerakan. Surat dan faksimili pun digunakan.

“Isu-isu penting bisa disalurkan dengan sangat cepat, misalnya isu tentang kekuatan militer yang mem-back up Orde Baru, dan yang bersimpati dengan gerakan mahasiswa. Dalam kasus marinir promahasiswa, kami mendekati mereka agar mau melindungi mahasiswa dari ancaman penembakan dan penculikan,” kata Adnan.

Gerakan mahasiswa pun berhasil. Orde Baru tumbang, dan rezim berganti. Sayangnya, ujar Adnan lagi, kami berpikir terlalu jangka pendek.

Sumber : CNN Indonesia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button