Artikel

Buruh, Korban dan Kambing Hitam Krisis Kapitalisme

Beritapekerja.com – Tak bisa dipungkiri, bahwa kapitalisme global saat ini tengah mengalami kembali satu fase krisisnya. Pertumbuhan ekonomi melambat, daya beli menurun, dan berbagai penyakit akut kapitalisme lainnya sedang “kumat” dan belum dapat disembuhkan oleh dokter.

Seperti juga pada yang terjadi pada tahun 1998 atau 2008, pada setiap krisis yang dialami oleh dunia usaha termasuk tahun ini, buruh selalu menjadi korban. Bentuk paling nyata yang dialami buruh dari krisis ini adalah pemutusan hubungan kerja. Buruh dikorbankan untuk menjaga agar industri tidak mengalami penurunan keuntungan, dan sistem sekonomi-politik kapitalisme tetap dapat hidup.

Tak adil rasanya, karena ketika perekonomian sedang dalam kondisi yang baik, buruh diperas waktu dan tenaganya untuk terus berproduksi. Lembur tak terhenti, kehilangan waktu, tenaga dan pikirannya untuk lembur bekerja, berproduksi agar memenuhi target dari industri. Dan dari setiap kerja yang dilakukan oleh buruh, adalah keuntungan yang besar bagi para pengusaha atau pemilik modal.

Upah yang bahkan ditambah dengan upah lembur sekalipun, tak akan membuat buruh menjadi berkecukupan atau bahkan dapat sekaya seperti para pengusaha. Uang yang didapat sangat minim dan hanya habis untuk kehidupan selama satu bulan, dan esok kembali memeras waktu dan tenaganya untuk dapat kembali hidup selama satu bulan kedepannya lagi.

Tapi, disaat industri dan dunia usaha sedang mengalami fase krisis seperti sekarang ini, maka buruhlah yang pertama kali menjadi korban. Habis manis sepah dibuang.

Memang, kadang PHK yang terjadi bukan karena industri yang sedang mengalami krisis, namun mereka berusaha mencari keuntungan yang lebih besar lagi dengan cara memindahkan pabriknya ke daerah lain yang nilai upahnya lebih kecil. Dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya, mendapatkan penghasilan yang sebesar-besarnya. Prinsip ekonomi kapitalisme.

Dan ketika sedang mengalami krisis, tentu pengusaha akan melakukan efisiensi biaya produksi. Buruh adalah pihak pertama yang akan menjadi korban atas nama efisiensi.

Sialnya, situasi dan kondisi seperti tersebut di atas yang terus terjadi berulang-ulang sejak lama tak kunjung juga terjadi perubahan. Negara hadir bukan untuk memberikan perlindungan dan pembelaan kepada mereka yang lemah dan menjadi korban, namun hadir untuk memberikan bantuan dan perlindungan bagi mereka yang hidup senang dan kaya raya karena menghisap waktu dan tenaga kerja para buruh.

Padahal seharusnya negara hadir dan bertanggungjawab untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Satu hal yang bertolakbelakang dengan apa yang terjadi saat ini. Penghidupan melalui upah yang tak mensejahterakan dan pekerjaan yang hilang.

Pertarungan modal antar pengusaha adalah hal lain yang tak dapat dihindari pada sistem ekonomi yang berlaku saat ini. Mereka saling bersaing dengan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan yang besar, dengan prinsip ekonomi yang sama.

Hal ini berlaku pula di Indonesia saat ini. Krisis ekonomi dan pertarungan modal yang sedang terjadi tak membuat buruh semakin hidup lebih baik. Indonesia adalah sasaran yang sangat empuk bagi kapitalisme global yang saat ini menguasai dunia. Amerika dan Jepang adalah dua negara yang menganut sistem kapitalisme, yang telah masuk dan menguasai Indonesia sejak lama. Dan kali ini mereka sedang mendapatkan persaingan modal dari kapitalisme dari China.

Tak peduli dari mana asalnya modal, pengusaha, kapitalisme itu datang, termasuk pengusaha dari dalam negeri sekalipun. Mereka mempunyai watak dan sistem yang sama, menghisap buruh untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

Begitu pula dengan buruh. Dari manapun buruh itu berasal atau bekerja di negarapun buruh itu, tetap mengalami hal yang sama. Tak peduli di negara maju sekalipun, para buruh tetap menempati posisi yang sama, menjadi kelas yang dihisap waktu, tenaga dan pikirannya untuk kepentingan pengusaha melipatgandakan keuntungan dan membuka pasar baru agar semakin besar keuntungannya.

Sementara itu, kelas-kelas menengah perkotaan yang hidup nikmat dari kejayaan kapitalisme karena mendapatkan remah-remah yang lebih besar dari buruh pabrik, telah terbentuk menjadi benteng utama dari para pengusaha. Tugas tak tertulis yang harus mereka lakukan adalah melindungi majikannya (pengusaha) dari serangan buruh-buruh kelas bawah yang menjadi korban. Korban upah murah, korban PHK, korban ketidakadilan.

Bentuk mereka dalam memberikan perlindungan, salah satunya adalah dengan cara membentuk opini publik. Terlebih lagi di era perkembangan tekhnologi yang maju pada saat ini, sosial media menjadi salah satu media yang sangat efektif bagi mereka untuk menyerang para buruh kelas bawah dengan segala tuntutannya.

Contoh paling sederhana adalah kasus penutupan beberapa perusahaan besar asal Jepang, Panasonic dan Toshiba. Dengan lantang mereka mengatakan bahwa penutupan pabrik tersebut dipicu karena buruh yang selalu melakukan demonstrasi untuk menuntut kenaikan upah. Padahal para pemilik modal dari pabrik tesebut mengatakan bahwa penutupan terjadi karena lemahnya daya beli dan kalahnya persaingan usaha.

Serangan dari kalangan kelas menengah perkotaan tersebut sepertinya merupakan kesimpulan yang datang tanpa analisa yang dalam. Mereka seolah tak mau melihat bahwa demonstrasi buruh itu terjadi karena kebijakan yang muncul, jauh dari kata memberikan perlindungan dan kesejahteraan.

Mereka seperti sedang menghakimi buruh-buruh pabrik dengan menjadikan demonstrasi sebagai faktor tunggal yang tak dapat dibantah lagi sebagai penyebab tutupnya sebuah pabrik. Cukup ironis tentunya, mengingat kelas menengah ini mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi, namun memiliki pemikiran yang sempit.

Namun demikian, tak ada satu pihakpun, baik pengusaha maupun pemerintah yang membantah isu bahwa tutupnya pabrik karena maraknya demonstrasi buruh. Sementara ketika buruh dan pimpinan serikat buruh mengutarakan pendapatnya atas krisis dan penutupan pabrik, maka pengusaha dan pemerintah sibuk membantah pernyataan-pernyataannya.

Artinya, buruh yang pada fase krisis ekonomi seperti sekarang ini menjadi korban, baik PHK maupun upah yang ditekan untuk tetap terus rendah. Kembali menjadi korban untuk kedua kalinya oleh serangan yang mengkambinghitamkan demonstrasi buruh sebagai penyebab dari tutupnya pabrik dan keterpurukan ekonomi.

Padahal kalau kita mau meninjau lebih jernih tentang kelas-kelas menengah perkotaan yang bekerja di kantor-kantor ber-AC dengan pakaian yang bersih dan rapi dengan segala macam fasilitasnya. Mereka sejatinya juga adalah buruh. Mereka juga mendapatkan upah dari menjual waktu, tenaga dan pikirannya.

Mungkin saja para kelas menengah ini tak mau bersolidaritas kepada rekannya sesama buruh, karena mereka merasa bukan buruh. Mungkin karena mereka dimanjakan oleh kapitalisme sehingga mereka lebih memihak pada para pengusaha, pemilik modal. Atau mungkin juga mereka takut akan berbagai resiko yang dihadapi jika mereka mengambil sikap untuk berada dalam satu barisan bersama buruh-buruh pabrik.

Namun buruh saat ini bukanlah buruh yang bodoh yang mau dikorbankan dan disalahkan begitu saja oleh berbagai pihak. Perjuangan buruh adalah perjuangan yang panjang, yang telah lama berlangsung. Dan sejak masa penjajahan Belanda, buruh telah berjuang dan melawan sistem kapitalisme yang menghisap buruh. Yang terus berlangsung seperti saat ini.

Berbagai gelombang serangan dari berbagai pihak kepada buruh tak akan membuat buruh menjadi lemah dan hancur. Mengingat satu pepatah; “Sesuatu yang tak membunuhmu, hanya akan membuatmu semakin kuat.”

Pepatah yang sangat mungkin berlaku bagi serikat-serikat buruh yang ada saat ini. Karena serangan-serangan yang datang, pada akhirnya akan membuat kaum buruh semakin sadar akan satu persatuan dan kekuatan politik yang besar, untuk sebuah perlawanan yang lebih besar, masif dan strategis.

nining

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button